Selasa, 15 Desember 2015

kebijakan Belanda di Indonesia dalam bidang Agama dan Pendidikan, serta Reaksi Umat Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dikenal sebagai puncak abad Imperialisme, dimana pada abad ini adalah masa keemasan bagi bangsa-bangsa yang bernafsu membentuk kekaisaran. Sedangkan Belanda di Indonesia sudah memulai Ekspansi Politiknya jauh sebelum masa itu.
Belanda merupakan salah satu negara yang menjajah Indonesia selama kurang lebih 3.5 abad lamanya. Dalam penjajahan Belanda ini tentunya banyak membuat kebijakan yang telah dikeluarkan untuk mempertahankan kekuasaannya di Indonesia, karena penduduk Indonesia yang mayoritas  muslim , maka kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Belanda pun banyak berhubungan dengan umat Islam. Pemerintah Belanda dan Umat Islam Indonesia, sama-sama mempunyai kepentingan yang berbeda. Di satu pihak Pemerintah Belanda dengan segala daya berusaha memperkuat dan mempertahankan kekuasaannya, sementara di pihak umat Islam Indonesia berupaya untuk melepaskan diri dari kekuasaan Belanda.[1]
Pemerintah Belanda selalu berusaha memahami keadaan penduduk pribumi yang dikuasainya. Kebijaksanaan Pemerintah Belanda dalam menangani Umat Islam  ini sering disebut dengan Islam Politiek, yang mana Prof. Snouck Horgronje dipandang sebagai peletak dasarnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja kebijakan Belanda di Indonesia dalam bidang Agama dan Pendidikan ?
2.      Bagaimana Reaksi Umat Islam terhadap kebijakan Belanda tersebut ?






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kebijakan Belanda dalam Bidang Agama
Di Indonesia, Belanda berhadapan dengan kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Sehingga menimbulkan perlawanan seperti perang Paderi (1821-1827). Perang Diponegoro ( 1825-1830), Perang Aceh (1873-1903), dan perlawanan lainnya.
Beberapa kebijakan pemerintah Belanda mengenai Agama Islam :
1.      Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda Mengenai Ibadah Haji.
Setelah Terusan Suez dibuka pada tahun 1869 M jumlah jamaah (umat Muslim) menuju Mekkah semakin bertambah.[2] Diantara para haji-haji Indonesia mereka banyak bermukim lama di Mekkah.[3] Ketika mereka kembali ke Indonesia haji-haji ini bertindak sebagai penyebar aliran Islam ortodoks. Sehingga meningkatkan pertumbuhan ortodoksi Islam di Indonesia. Maka kiai ortodoks yang mendapat pelatihan di Mekkah membangun pesantren yang menarik siswa-siswanya dalam jumlah besar.[4] Gelombang ortodoksi mengubah setiap pesantren, menjadi pusat sentiment anti-Belanda. Pemerintahan kolonial berusaha memberikan batasan-batasan kepada orang-orang Islam di Indonesia, terutama dalam hal naik haji, yang dianggap biang keladi menyebarkan agitasi dan pemberontakan di Indonesia.[5]
2.      Tarekat dan Pan-Islam
2.1  Gerakan Tarekat
Sejak awal masyarakat Belanda di Indonesia sudah mempunyai rasa was-was terhadap tarekat, karena mereka  beranggapan bahwa gerakan tarekat ini hanya sebagai basis kekuatan untuk memberontak yang di pelopori oleh pemimpin agama yang fanatik. Kekhawatiran Belanda tersebut nampak jelas dengan adanya berbagai pemberontakan, seperti peristiwa cianjur, peristiwa cilegon, dan peristiwa garut.


a)   Peristiwa Cianjur 1885
Peristiwa ini bermula dari aktivitas gerakan tarekan Naqsyabandi. Kemudian timbul kegelisahan dikalangan Belanda, karena beberapa anggota tarekat ini menduduki jabatan penting didalam pemerintahan.
b)   Peristiwa Cilegon 1888
Peristiwa ini tidak bisa dilepaskan dari latarbelakang gerakan tarekat, karena pelaku dari peristiwa ini merupakan pengikut tarekat. Didaerah ini memang telah banyak melakukan pergolakan melawan Belanda, sehingga meletusnya peristiwa Cilegon ini gerakan tarekat mendapat perhatian khusus. Bahkan sampai tahun 1890 pun, ketakutan terhadap peristiwa Cilegon ini masih cukup dalam.
c)   Peristiwa Garut 1919
Peristiwa ini merupakan suatu contoh berlebihannya kewaspadaan pemerintah Belanda akan aktivitas tarekat, karena dipandang pemerintah Belanda terlalu memberi hati kepada pribumi. Peristiwa ini terjadi di desa Cikendal kawedanan Leles kabupaten Garut, pada tanggal 7 Juli 1919, dimana pemerintah Belanda menetapkan bahwa para petani harus menjual sebagian hasil panen tersebut kepada pemerintah Belanda.[6] 
d)  Pembangunan Masjid
Di Indonesia sering terjadi perlisihan tentang pembangunan suatu masjid baru. Mazhab Syafi’i merupakan mazhab umumnya masyarakat Indonesia, yang mana berpendapat bahwa di satu tempat hanya boleh terda[at satu sholat Jum’at, dan karena itu pembangunan suatu masjid baru bisa dilakukan apabila mencakup syarat-syarat tertentu. Kemudian pendapat mazhab ini lah yang digunakan oleh pemerintahan Belanda untuk menghalangi pembangunan masjid baru.[7]
Dari sekian banyaknya pemberontakan tersebut, terutama setelah peristiwa Cilegon tahun 1888 mendapat perhatian khusus pemerintah. Ketika Snouck Hurgronje mengelilingi Jawa akhir tahun 1889, bahwa di mana-mana pemerintah Belanda memburu guru agama.[8] Menghadapi medan seperti ini Snouck Hurgronje mempunyai kebijaksanaan. Pertama, menghambat arus anti tarekat. Kedua, mengadakan pengawasan ketat terhadap aktivitas gerakan tarekat.[9]
2.2  Gerakan Pan-Islam
Pemerintah Belanda selalu bersikap waspada terhadap segala sesuatu yang menurut mereka akan membahayakan kekuasaanya. Kalau tarekat membahayakan dari dalam, maka gerakan Pan-Islam membahayakan dari luar. Sehingga para haji sering di curigai dan diawasi oleh pemerintah, karena mereka dianggap pembawa pengaruh Pan-Islam dari Luar.
a)      Pan-Islam dan Khalifah
Khalifah sebagai Amirul Mu’minin mempunyai tugas ganda yakni mengatur urusan duniawi umat di samping itu juga mengelola masalah agamanya. Dalam hal ini lebih menekankan musyawarah agar tidak terjadi kekuasaan yang absolut, dan juga menekankan untuk mengutamakan kepentingan umat, dalam hal ini seorang Khalifah memiliki kemampuan berijtihad.
Pengertian Pan-Islam secara klasik adalah menyatukan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang dikepalai oleh seorang Khalifah. Dalam perkembangan selanjutnya, Pan-Islam berupaya untuk menyatukan seluruh umat Islam dalam satu ikatan setia kawan, atau menghidupkan rasa Ukhuwah Islamiyah. Akan tetapi di mata penjajah Pan-Islam dianggap berbahaya karena bisa membangkitkan perlawanan bangsa-bangsa Islam yang dikuasai oleh para penjajah.[10]
b)      Pan-Islam dan Indonesia
Islam di Indonesia mendapat sorotan dan perhatian dari dunia Islam, terutama Mesir dan Mekkah yang melihat kekuasaan Belanda terhadap saudara seagamanya dengan penuh keprihatinan. Pemerintah kolonial digambarkan sebagai negara Eropa yang paling tiran dan kejam dalam menghadapi umat Islam.

c)      Haji dan Pan-Islam
Setelah dibukanya terusan Suez, khususnya pada 1927 meningkat hingga 52.412. Dengan demikian Belanda menempatkan konsulnya di Jeddah, untuk mengatur dan mengawasi “warga negaranya” di tanah suci.[11] Dalam rangka kepentingan kekuasaan Belanda, mereka (Belanda) menilai para haji sebagai orang-orang fanatik, dan mencurigainya sumber pemberontakan terhadap pemerintah.[12]
d)     Kekhawatiran Belanda dan Tindakannya
Bagi pemerintahan kolonial, menentang Pan Islam merupakan prinsip yang harus dipegang teguh. Maka pengawasan ketat dilakukan terhadap para mukminin, juga terhadap orang-orang Arab yang menetap di Indonesia, Kecurigaan terhadap para kiai dan pesantren  juga tidak luput dari pengawasan pemerintah. Karena hal tersebut merupakan unsur yang ikut membantu perkembangan Pan Islam di Nusantara.[13]
B.     Kebijakan Belanda dalam Bidang Pendidikan dan Islam
1.      Kebijakan Pendidikan dan Islam
kelestarian penjajahan, merupakan impian politik pemerintah Belanda. Sejalan dengan pola ini, maka kebijakan dalam bidang pendidikan menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia.
Kesadaran bahwa pemerintah Belanda merupakan “Pemerintahan kafir” yang menjajah agama dan bangsa, semakin mendalam tertanam dibenak para santri. Pesantren yang merupakan pusat pendidikan Islam pada waktu itu mengambil sikap anti Belanda. Sampai uang yang diterima seseorang sebagai gaji dari pemerintah Belanda, dinilainya sebagi uang haram. Celana dan dasi pun dianggap haram, karena dinilai sebagai pakaian identitas Belanda.
Di mata umat Islam, pemerintah Belanda sering dituduh sebagai pemerintah Kristen, disebabkan berbagai kebijakannya sendiri yang memperkuat tuduhan tersebut. Seperti sekolah-sekolah Kristen yang umumnya diberi subsidi oleh pemerintah Belanda sering mewajibkan pendidikan agama Kristen bagi murid-murid Islam. Sekolah-sekolah Negeri juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan propaganda suatu aliran Gereja, dan ketika Van Den Boss menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah dan tiap daerah karesidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.
2.      Ordonansi Guru
Suatu kebijakan pemerintah kolonial yang oleh umat Islam dirasakan sangat menekan adalah ordonansi guru. Ordonansi pertama yang dikeluarkan pada tahun 1905 mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama, sedangkan ordonansi kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri. Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan pengajar agama Islam di negeri ini.
Di tahun yang sama pula yakni tahun 1925 Pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang (kiyai) boleh memberikan pelajaran mengaji. Peraturan itu mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, dan lain-lain.
3.      Ordonansi Sekolah Liar
Sejak tahun 1880 pemerintah Belanda secara resmi memberikan izin untuk mendidik pribumi. Pada tahun 1932 keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah yang tidak ada izinya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah Belanda yang disebut Ordonansi Sekolah Liar.
Perlu dicatat beberapa faktor yang ikut mewarnai situasi menjelang lahirnya ordonansi pengawasan ini. Pemerintah Belanda pada saat itu terpaksa mengadakan penghematan, berhubung merosotnya ekonomi dunia, dan terpaksa pula memperendah aktivitasnya termasuk dalam bidang pendidikan. Kebijaksanaan ini membawa akibat sangat majunya pendidikan Kristen di Indonesia. Sementara itu keinginan orang –orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat juga semakin berkembang. Ketidakmampuan pemerintah Belanda  dalam mengatasi arus yang justru sejalan dengan apa yang impikannya selama ini, mengakibatkan bermunculannya sekolah swasta, yang kemudian dikenal sebagai “sekolah liar”. Tetapi karena pengelola dan kurikulum sekolah ini dinilai tidak memenuhi syarat yang ditentukan pemerintah, maka ijazah sekolah tersebut tidak diakui dikantor-kantor resmi. . Hingga akhirnya pada pertengahan Februari 1933 ordonansi ini ditarik kembali. Sehingga sekolah yang dulunya disebut sebagai sekolah liar, telah berganti nama menjadi sekolah swasta non subsidi. Namun dalam perkembanganya, sekolah ini berkembang semakin banyak dengan kualitas yang semakin baik.
4.      Mempertahankan Kelestarian Warisan Nenek  Moyang
Snouck Hurgronje mengemban misi melemahkan umat Islam Indonesia dengan menyegarkan kembali ingatan bangsa Indonesia terhadap adat nenek moyang, dengan mengembalikan kepada adat nenek moyang, masyarakat Indonesia akan menjadi plural society, dan tumbuh dengan sentimen keagamaan, daerah, suku, dan adat yang sangat tajam.[14] Apabila bangsa Indonesia telah menyadari ajaran nenek moyang ataupun adatnya diharapkan akan melemparkan Islam jauh-jauh dari kehidupannya.[15] Selain itu, Snouck Hurgronje merasa perlu untuk mengembalikan kegiatan adat daerah-daerah Indonesia lainnya,  juga merasa perlu untuk mengembangkan kembali agama jawa. [16]
5.      Memperalat Golongan Priyayi
Menghadapi kebangkitan Umat Islam, Belanda mencoba memecah hubungan antara Umat Islam dengan kalangan priyayi. Lebih-lebih perlu dijauhkan kalangan Pangreh Praja dari gerakan politik yang dilancarkan SI.[17] Misalnya, SI Bandung melalui surat KaoemMoeda, bernada menentang kalangan priyayi yang lamban dan tidak memihak kepada gerakan nasional. Sebaliknya Pangreh Praja mulai menganggap bahwa apa yang diperjuangkan SI merupakan gerakan berbahaya. Akibatnya Belanda berhasil menciptakan sikap bupati Wiranatakusuma untuk melepaskan dukungan terhadap SI. Demikian pula Bupati Sumedang Aria Atmaja mengutuki perjuangan SI yang dianggapnya menipu rakyat dan petani.[18]

C.     Reaksi Masyarakat Islam Indonesia terhadap kebijakan Belanda
Berbagai kebijakan yang dilakukan Belanda sedikit banyak telah menimbulkan berbagai reaksi dari umat Islam. Tak jarang reaksi yang ditimbulkan berbentuk suatu gerakan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda. Berbagai gelombang ortodoksi terbaru mengubah setiap pesantren, sekurang-kurangnya secara potensial, menjadi pusat sentimen anti Belanda. Memang ini tidak segera berlaku bagi mayoritas guru-guru Islam dan pengikut-pengikutnya, namun agitasi Islam jelas bertambah menjawab rangsangan-rangsangan ekonomi politik yang merugikan. Keresahan ini yang secara singkat menjadi gerakan pemberontakan di bawah pimpinan Islam.
Pemberontakan juga dilakukan oleh berbagai kalangan, baik dari Kyai, Ulama, santri, maupun dari kalangan petani, kebanyakan dilancarkan sebagai “perang sabil” atas nama Islam, selama abad ke-19 menyaksikan proses konsolidasi pemerintahan Belanda di Jawa dan Sumatera. Dari kalangan ulama dan santri pada tahun 1820-1880 telah terjadi empat kali pemberontakan santri yang besar.
1.      Pemberontakan santri di Sumatra Barat (1821-1928).
Pemberontakan ini disebut juga dengan perang padri sebagi akibat dari haji-haji menentang golongan adat. Pemberontakan ini berakhir, setelah adanya invasi militer Belanda.
2.      Pemberontakan santri di Jawa Tengah (1825-1830).
Pemberontakan ini timbul sebagai akibat tumbuhnya gerakan mahdi yang melancarkan perang sabil terhadap imperalis Belanda.
3.      Pemberontakan santri di Barat Laut Jawa pada tahun 1840 an 1880.
Pemberontakan ini muncul sebagai akibat dari tindakan para ulama yang memimpin pemberontakan santri menghancurkan rumah-rumah orang Eropa dan pamong praja. Pemberontakan ini merupakan respons dari umat Islam Banten yang berusaha melepaskan diri dari penindasan tanam paksa.
4.      Pemberontakan santri di Aceh tahun 1873-1903.
Pemberontak ini berhasil mengacaukan imperialis Belanda selama tigapuluh tahun.

Selain pemberontakkan dikalangan santri, bentuk reaksi lain yang dilakukan umat Islam, yaitu:
1.      Membangkitkan Gerakan Nasional
Para ulama mencoba menggerakkan masyarakat dengan melalui waktu-waktu yang sangat menguntungkan dalam pendidikan. Dicobanya mendidik masyarakat agar semangatnya bangkit kembali dalam bidang ekonomi perdagangan. Untuk keperluan ini H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (16 Oktober 1905). Setahun kemudian diubah menjadi Sarekat Islam (1906). Gerakan Nasional yang terjun pada dunia pendidikan ialah salah satunya ialah Budi Utomo (BU) yang muncul dari keprihatinan dr. Wahidin Sudirohusodo terhadap kondisi anak-anak pribumi yang masih mengalami keterbelakangan karena hambatan kekurangan dana belajar. Maka dr. Wahidin Sudirohusodo berkeliling Jawa untuk menghimpun dana  pada tahun 1906-1907. Misi dan ide dr. Wahidin Sudirohusodo diterima dan dikembangkan oleh Sutomo, seorang mahasiswa STOVIA. Akhirnya Sutomo dan rekan-rekannya mendirikan BU di Jakarta pada 20 Mei 1908. 
Selanjutnya, gerakan nasional yang merupakan hasil reaksi masyarakat Islam Indonesia terhadap kebijakan Belanda ialah organisasi Muhammadiyah yang didirikan K.H Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 di Yogyakarta. Organisasi ini ingin memperbaiki agama dan umat Islam Indonesia. Dorongan luar yang melahirkan organisasi ini adalah politik kolonial sendiri terhadap pengembangan agama Islam yang menginginkan agar agama Islam tetap tidak murni.[19] Perbaikan pendidikan organisasi ini mencakup perbaikan dan pembentukan manusia Muslim yang berbudi, alim, luas pengetahuannya dan faham masalah ilmu keduniaan dan kemasyarakatan. Sistem pendidikan dibangunnya dengan cara menggabungkan model sekolah Barat ditambah pelajaran agama.[20]
2.      Pembentukan Organisasi Politik
Usaha pendekatan Islam dengan kelompok priyayi mulai dirintis oleh K.H Ahmad Dahlan pada saat beliau belum mendirikan Muhammadiyah. Pada 1909 K.H Ahmad Dahlan menyampaikan kuliah keagamaan kepada anggota Budi Utomo, dengan harapan para pangreh praja dan guru-guru yang yang tergabung dalam Budi Utomo bisa mengembangkan kuliahnya ke seluruh sekolah atau rakyat di bawahnya.
Di bawah situasi demikian K.H Ahmad Dahlan mengadakan perubahan sistem pendidikan bangsa Indonesia. Untuk merealisasikan gagasan tersebut diperlukan wadah, yaitu Muhammadiyah (18 November 1912) yang didirikan di Yogyakarta. Keberhasilan Muhammadiyah yang luar biasa terletak dalam kegiatan-kegiatan pendidikan dikalangan orang tua maupun anak muda. Pendidikanya mengandung unsur barat dan juga mengenai pelajaran agama yang berdasarkan bahasa Arab dan tafsir al-Quran. Organisasi-organisasi pemuda dan wanita, klinik-klinik dan rumah wakaf, dan sekolah-sekolah baru, semuanya menunjukkan sejauh mana Muhammadiyah secara berhasil telah mengambil alih metode-metode Barat, khususnya metode misi kristen di Indonesia[21].
Sedangkan di Jawa Timur kalangan ulama memandang perlu untuk meningkatkan organisasi Taswirul Afkar (1914). Dari hasil reorganisasi dibentuk Nahdlatul Ulama (1926). Atas prakarsa Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, pada 1937 dibentuk Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI). Dengan  ormas dan orpol, memberi bukti gagalnya teori Dutch Islamic Policy hasil pemikiran Snouck dalam melumpuhkan Islam Indonesia.[22]












BAB III
PENUTUP
·         Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa, mayoritas pribumi yang beragama Islam membuat pemerintah Belanda secara serius memperhatikan umat Islam. Pada awalnya kebijakan yang di keluarkan oleh pemerinta Belanda hanya sebatas rasa takut kepada umat Islam, dikarenakan belum tahunya mereka terhadap umat Islam. Kemudian muncul tokoh Snouck Horgronje yang dianggap sebagai peletak dasar politik Islam.
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Belanda baik dalam agama maupun dalam pendidikan sebenarnya mengandung misi tersendiri. Misi yang mereka inginkan yaitu bagaimana kebijakan yang mereka keluarkan tersebut dapat memperkokoh posisinya di Indonesia. Diantara  kebijakan-kebijakan itu antara lain dalam pendidikan Islam, ordonansi guru, dan ordonansi sekolah liar. Dari kebijakan tersebut pendidikan Indonesia menjadi lumpuh dan tidak diakui oleh pemerintah kolonial, dan para pendidik tidak berani dalam melaksanakan proses pembelajaran yang selayaknya, dan sekolah-sekolah yang didirikan oleh orang Indonesia menjadi sekolah liar yang statusnya tidak diakui oleh pemerintah kolonial dan setiap saat dapat digusur oleh pemerintah kolonial karena tidak meminta izin pada pemerintah kolonial.
Kemudian kebijakan-kebijakan yang telah disebutkan di atas, dalam yang mereka keluarkan sangat merugikan umat Islam, sehingga berbagai reaksi dan perlawanan dilancarkan oleh umat Islam. Baik dalam bentuk suatu pemberontakan maupun reaksi dalam bentuk lain.

DAFTAR PUSTAKA
Benda, Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya. 1985.
Suhartono. Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-194,cet.2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001.
Suminto,Aqib. Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: PT Pustaka LP3ES. 1996.
Suryanegara, Ahmad Mansyur. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung:Mizan. 1996.


[1] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta:PT Pustaka LP3ES, 1996), Hlm.1.
[2] Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Pada Masa Pendudukan Jepang, terj  (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), hlm. 36.
[3] Ibid.
[4] Ibid., hlm. 37.
[5] Ibid., hlm. 39.
[6] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda  (Jakarta:PT Pustaka LP3ES, 1996), hlm. 64-70
[7] Ibid., hlm. 170-171
[8] Ibid., hlm.67.
[9] Ibid., hlm. 69-70.
[10]Ibid., hlm. 79-80.
[11] Ibid., hlm. 93.
[12] Ibid., hlm. 94.
[13] Ibid., hlm. 97.
[14] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia  (Bandung: Mizan, ), hlm. 137.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid., hlm. 249.
[18] Ibid.
[19] Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-1945, cet.2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 44.
[20] Ibid., hlm. 45.
[21] Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang (Jakarta:Pustaka Jaya,1980), Hlm. 71.
[22] Mansyur, Menemukan Sejarah,Hlm. 142.                                                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar