BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20 dikenal sebagai puncak abad Imperialisme, dimana pada abad
ini adalah masa keemasan bagi bangsa-bangsa yang bernafsu membentuk kekaisaran.
Sedangkan Belanda di Indonesia sudah memulai Ekspansi Politiknya jauh sebelum
masa itu.
Belanda merupakan salah satu
negara yang menjajah Indonesia selama kurang lebih 3.5 abad lamanya. Dalam
penjajahan Belanda ini tentunya banyak membuat kebijakan yang telah dikeluarkan
untuk mempertahankan kekuasaannya di Indonesia, karena penduduk Indonesia yang
mayoritas muslim , maka kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintahan Belanda pun banyak berhubungan dengan umat Islam.
Pemerintah
Belanda dan Umat Islam Indonesia, sama-sama mempunyai kepentingan yang berbeda.
Di satu pihak Pemerintah Belanda dengan segala daya berusaha memperkuat dan
mempertahankan kekuasaannya, sementara di pihak umat Islam Indonesia berupaya
untuk melepaskan diri dari kekuasaan Belanda.[1]
Pemerintah Belanda selalu berusaha
memahami keadaan penduduk pribumi yang dikuasainya. Kebijaksanaan Pemerintah
Belanda dalam menangani Umat Islam ini
sering disebut dengan Islam Politiek,
yang mana Prof. Snouck Horgronje dipandang sebagai peletak dasarnya.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
saja kebijakan Belanda di Indonesia dalam bidang Agama dan Pendidikan ?
2. Bagaimana
Reaksi Umat Islam terhadap kebijakan Belanda tersebut ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kebijakan
Belanda dalam Bidang Agama
Di Indonesia,
Belanda berhadapan dengan kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama
Islam. Sehingga menimbulkan perlawanan seperti perang Paderi (1821-1827).
Perang Diponegoro ( 1825-1830), Perang Aceh (1873-1903), dan perlawanan
lainnya.
Beberapa kebijakan
pemerintah Belanda mengenai Agama Islam :
1. Kebijakan
Pemerintah Hindia Belanda Mengenai Ibadah Haji.
Setelah
Terusan Suez dibuka pada tahun 1869 M jumlah jamaah (umat Muslim) menuju Mekkah
semakin bertambah.[2]
Diantara para haji-haji Indonesia mereka banyak bermukim lama di Mekkah.[3]
Ketika mereka kembali ke Indonesia haji-haji ini bertindak sebagai penyebar
aliran Islam ortodoks. Sehingga meningkatkan pertumbuhan ortodoksi Islam di
Indonesia. Maka kiai ortodoks yang mendapat pelatihan di Mekkah membangun
pesantren yang menarik siswa-siswanya dalam jumlah besar.[4] Gelombang
ortodoksi mengubah setiap pesantren, menjadi pusat sentiment anti-Belanda. Pemerintahan
kolonial berusaha memberikan batasan-batasan kepada orang-orang Islam di
Indonesia, terutama dalam hal naik haji, yang dianggap biang keladi menyebarkan
agitasi dan pemberontakan di Indonesia.[5]
2.
Tarekat dan
Pan-Islam
2.1 Gerakan Tarekat
Sejak awal
masyarakat Belanda di Indonesia sudah mempunyai rasa was-was terhadap tarekat,
karena mereka beranggapan bahwa gerakan
tarekat ini hanya sebagai basis kekuatan untuk memberontak yang di pelopori
oleh pemimpin agama yang fanatik. Kekhawatiran Belanda tersebut nampak jelas
dengan adanya berbagai pemberontakan, seperti peristiwa cianjur, peristiwa
cilegon, dan peristiwa garut.
a)
Peristiwa Cianjur 1885
Peristiwa ini bermula dari aktivitas gerakan tarekan
Naqsyabandi. Kemudian timbul kegelisahan dikalangan Belanda, karena beberapa
anggota tarekat ini menduduki jabatan penting didalam pemerintahan.
b)
Peristiwa Cilegon 1888
Peristiwa ini tidak bisa dilepaskan dari latarbelakang
gerakan tarekat, karena pelaku dari peristiwa ini merupakan pengikut tarekat.
Didaerah ini memang telah banyak melakukan pergolakan melawan Belanda, sehingga
meletusnya peristiwa Cilegon ini gerakan tarekat mendapat perhatian khusus.
Bahkan sampai tahun 1890 pun, ketakutan terhadap peristiwa Cilegon ini masih
cukup dalam.
c)
Peristiwa Garut 1919
Peristiwa ini merupakan suatu contoh berlebihannya
kewaspadaan pemerintah Belanda akan aktivitas tarekat, karena dipandang
pemerintah Belanda terlalu memberi hati kepada pribumi. Peristiwa ini terjadi
di desa Cikendal kawedanan Leles kabupaten Garut, pada tanggal 7 Juli 1919,
dimana pemerintah Belanda menetapkan bahwa para petani harus menjual sebagian
hasil panen tersebut kepada pemerintah Belanda.[6]
d) Pembangunan Masjid
Di Indonesia sering terjadi perlisihan tentang
pembangunan suatu masjid baru. Mazhab Syafi’i merupakan mazhab umumnya
masyarakat Indonesia, yang mana berpendapat bahwa di satu tempat hanya boleh
terda[at satu sholat Jum’at, dan karena itu pembangunan suatu masjid baru bisa
dilakukan apabila mencakup syarat-syarat tertentu. Kemudian pendapat mazhab ini
lah yang digunakan oleh pemerintahan Belanda untuk menghalangi pembangunan
masjid baru.[7]
Dari sekian banyaknya pemberontakan tersebut, terutama
setelah peristiwa Cilegon tahun 1888 mendapat perhatian khusus pemerintah.
Ketika Snouck Hurgronje mengelilingi Jawa akhir tahun 1889, bahwa di mana-mana
pemerintah Belanda memburu guru agama.[8]
Menghadapi medan seperti ini Snouck Hurgronje mempunyai kebijaksanaan. Pertama, menghambat arus anti tarekat. Kedua, mengadakan pengawasan ketat
terhadap aktivitas gerakan tarekat.[9]
2.2 Gerakan Pan-Islam
Pemerintah Belanda selalu bersikap waspada terhadap
segala sesuatu yang menurut mereka akan membahayakan kekuasaanya. Kalau tarekat
membahayakan dari dalam, maka gerakan Pan-Islam membahayakan dari luar.
Sehingga para haji sering di curigai dan diawasi oleh pemerintah, karena mereka
dianggap pembawa pengaruh Pan-Islam dari Luar.
a)
Pan-Islam dan Khalifah
Khalifah sebagai Amirul
Mu’minin mempunyai tugas ganda yakni mengatur urusan duniawi umat di
samping itu juga mengelola masalah agamanya. Dalam hal ini lebih menekankan
musyawarah agar tidak terjadi kekuasaan yang absolut, dan juga menekankan untuk
mengutamakan kepentingan umat, dalam hal ini seorang Khalifah memiliki
kemampuan berijtihad.
Pengertian Pan-Islam secara klasik adalah menyatukan
seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang dikepalai
oleh seorang Khalifah. Dalam perkembangan selanjutnya, Pan-Islam berupaya untuk
menyatukan seluruh umat Islam dalam satu ikatan setia kawan, atau menghidupkan
rasa Ukhuwah Islamiyah. Akan tetapi di mata penjajah Pan-Islam dianggap
berbahaya karena bisa membangkitkan perlawanan bangsa-bangsa Islam yang
dikuasai oleh para penjajah.[10]
b)
Pan-Islam dan Indonesia
Islam di Indonesia
mendapat sorotan dan perhatian dari dunia Islam, terutama Mesir dan Mekkah yang
melihat kekuasaan Belanda terhadap saudara seagamanya dengan penuh
keprihatinan. Pemerintah kolonial digambarkan sebagai negara Eropa yang paling
tiran dan kejam dalam menghadapi umat Islam.
c)
Haji dan Pan-Islam
Setelah dibukanya terusan Suez, khususnya pada 1927
meningkat hingga 52.412. Dengan demikian Belanda menempatkan konsulnya di
Jeddah, untuk mengatur dan mengawasi “warga negaranya” di tanah suci.[11]
Dalam rangka kepentingan kekuasaan Belanda, mereka (Belanda) menilai para haji
sebagai orang-orang fanatik, dan mencurigainya sumber pemberontakan terhadap
pemerintah.[12]
d)
Kekhawatiran Belanda dan Tindakannya
Bagi pemerintahan kolonial, menentang Pan Islam merupakan
prinsip yang harus dipegang teguh. Maka pengawasan ketat dilakukan terhadap
para mukminin, juga terhadap orang-orang Arab yang menetap di Indonesia,
Kecurigaan terhadap para kiai dan pesantren
juga tidak luput dari pengawasan pemerintah. Karena hal tersebut
merupakan unsur yang ikut membantu perkembangan Pan Islam di Nusantara.[13]
B. Kebijakan
Belanda dalam Bidang Pendidikan dan Islam
1.
Kebijakan
Pendidikan dan Islam
kelestarian
penjajahan, merupakan impian politik pemerintah Belanda. Sejalan dengan pola
ini, maka kebijakan dalam bidang pendidikan menempatkan Islam sebagai saingan
yang harus dihadapi. Pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor yang akan
menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia.
Kesadaran
bahwa pemerintah Belanda merupakan “Pemerintahan kafir” yang menjajah agama dan
bangsa, semakin mendalam tertanam dibenak para santri. Pesantren yang merupakan
pusat pendidikan Islam pada waktu itu mengambil sikap anti Belanda. Sampai uang
yang diterima seseorang sebagai gaji dari pemerintah Belanda, dinilainya sebagi
uang haram. Celana dan dasi pun dianggap haram, karena dinilai sebagai pakaian identitas
Belanda.
Di mata
umat Islam, pemerintah Belanda sering dituduh sebagai pemerintah Kristen,
disebabkan berbagai kebijakannya sendiri yang memperkuat tuduhan tersebut. Seperti
sekolah-sekolah Kristen yang umumnya diberi subsidi oleh pemerintah Belanda sering
mewajibkan pendidikan agama Kristen bagi murid-murid Islam. Sekolah-sekolah
Negeri juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan propaganda suatu aliran
Gereja, dan ketika Van Den Boss menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun
1831, keluarlah kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan
sebagai sekolah pemerintah dan tiap daerah karesidenan didirikan satu sekolah
agama Kristen.
2. Ordonansi Guru
Suatu kebijakan pemerintah kolonial
yang oleh umat Islam dirasakan sangat menekan adalah ordonansi guru. Ordonansi
pertama yang dikeluarkan pada tahun 1905 mewajibkan setiap guru agama Islam
untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan
tugasnya sebagai guru agama, sedangkan ordonansi kedua yang dikeluarkan pada
tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri. Kedua ordonansi ini
dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi
sepak terjang para pengajar dan pengajar agama Islam di negeri ini.
Di tahun yang sama pula yakni tahun
1925 Pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap
pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang (kiyai) boleh memberikan
pelajaran mengaji. Peraturan itu mungkin disebabkan oleh adanya gerakan
organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah,
Partai Syarikat Islam, dan lain-lain.
3. Ordonansi Sekolah
Liar
Sejak
tahun 1880 pemerintah Belanda secara resmi memberikan izin untuk mendidik
pribumi. Pada tahun 1932 keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan
menutup madrasah yang tidak ada izinya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai
oleh pemerintah Belanda yang disebut Ordonansi Sekolah Liar.
Perlu dicatat
beberapa faktor yang ikut mewarnai situasi menjelang lahirnya ordonansi pengawasan
ini. Pemerintah Belanda pada saat itu terpaksa mengadakan penghematan,
berhubung merosotnya ekonomi dunia, dan terpaksa pula memperendah aktivitasnya
termasuk dalam bidang pendidikan. Kebijaksanaan ini membawa akibat sangat majunya
pendidikan Kristen di Indonesia. Sementara itu keinginan orang –orang Indonesia
untuk memperoleh pendidikan Barat juga semakin berkembang. Ketidakmampuan
pemerintah Belanda dalam mengatasi arus
yang justru sejalan dengan apa yang impikannya selama ini, mengakibatkan
bermunculannya sekolah swasta, yang kemudian dikenal sebagai “sekolah liar”.
Tetapi karena pengelola dan kurikulum sekolah ini dinilai tidak memenuhi syarat
yang ditentukan pemerintah, maka ijazah sekolah tersebut tidak diakui
dikantor-kantor resmi. . Hingga
akhirnya pada pertengahan Februari 1933 ordonansi ini ditarik kembali. Sehingga
sekolah yang dulunya disebut sebagai sekolah liar, telah berganti nama menjadi
sekolah swasta non subsidi. Namun dalam perkembanganya, sekolah ini berkembang
semakin banyak dengan kualitas yang semakin baik.
4.
Mempertahankan Kelestarian Warisan Nenek Moyang
Snouck Hurgronje
mengemban misi melemahkan umat Islam Indonesia dengan menyegarkan kembali
ingatan bangsa Indonesia terhadap adat nenek moyang, dengan mengembalikan
kepada adat nenek moyang, masyarakat Indonesia akan menjadi plural society, dan tumbuh dengan
sentimen keagamaan, daerah, suku, dan adat yang sangat tajam.[14]
Apabila bangsa Indonesia telah menyadari ajaran nenek moyang ataupun adatnya diharapkan
akan melemparkan Islam jauh-jauh dari kehidupannya.[15]
Selain itu, Snouck Hurgronje merasa perlu untuk mengembalikan kegiatan adat
daerah-daerah Indonesia lainnya, juga
merasa perlu untuk mengembangkan kembali agama jawa. [16]
5.
Memperalat Golongan Priyayi
Menghadapi kebangkitan Umat Islam, Belanda mencoba
memecah hubungan antara Umat Islam dengan kalangan priyayi. Lebih-lebih perlu
dijauhkan kalangan Pangreh Praja dari gerakan politik yang dilancarkan SI.[17]
Misalnya, SI Bandung melalui surat KaoemMoeda,
bernada menentang kalangan priyayi yang lamban dan tidak memihak kepada
gerakan nasional. Sebaliknya Pangreh Praja mulai menganggap bahwa apa yang
diperjuangkan SI merupakan gerakan berbahaya. Akibatnya Belanda berhasil
menciptakan sikap bupati Wiranatakusuma untuk melepaskan dukungan terhadap SI.
Demikian pula Bupati Sumedang Aria Atmaja mengutuki perjuangan SI yang
dianggapnya menipu rakyat dan petani.[18]
C. Reaksi
Masyarakat Islam Indonesia terhadap kebijakan Belanda
Berbagai kebijakan
yang dilakukan Belanda sedikit banyak telah menimbulkan berbagai reaksi dari
umat Islam. Tak jarang reaksi
yang ditimbulkan berbentuk suatu gerakan pemberontakan terhadap pemerintah
Belanda. Berbagai gelombang ortodoksi terbaru mengubah setiap pesantren,
sekurang-kurangnya secara potensial, menjadi pusat sentimen anti Belanda.
Memang ini tidak segera berlaku bagi mayoritas guru-guru Islam dan
pengikut-pengikutnya, namun agitasi Islam jelas bertambah menjawab
rangsangan-rangsangan ekonomi politik yang merugikan. Keresahan ini yang secara
singkat menjadi gerakan pemberontakan di bawah pimpinan Islam.
Pemberontakan juga
dilakukan oleh berbagai kalangan, baik dari Kyai, Ulama, santri, maupun dari
kalangan petani, kebanyakan dilancarkan sebagai “perang sabil” atas nama Islam,
selama abad ke-19 menyaksikan proses konsolidasi pemerintahan Belanda di Jawa
dan Sumatera. Dari kalangan ulama
dan santri pada tahun 1820-1880 telah terjadi empat kali pemberontakan santri
yang besar.
1.
Pemberontakan santri di Sumatra Barat (1821-1928).
Pemberontakan ini disebut juga dengan perang padri sebagi
akibat dari haji-haji menentang golongan adat. Pemberontakan ini berakhir,
setelah adanya invasi militer Belanda.
2.
Pemberontakan santri di Jawa Tengah (1825-1830).
Pemberontakan
ini timbul sebagai akibat tumbuhnya gerakan mahdi yang melancarkan perang sabil
terhadap imperalis Belanda.
3.
Pemberontakan santri di Barat Laut Jawa pada tahun 1840
an 1880.
Pemberontakan ini muncul sebagai akibat dari tindakan
para ulama yang memimpin pemberontakan santri menghancurkan rumah-rumah orang
Eropa dan pamong praja. Pemberontakan ini merupakan respons dari umat Islam
Banten yang berusaha melepaskan diri dari penindasan tanam paksa.
4.
Pemberontakan santri di Aceh tahun 1873-1903.
Pemberontak ini berhasil mengacaukan imperialis Belanda
selama tigapuluh tahun.
Selain pemberontakkan dikalangan santri, bentuk reaksi
lain yang dilakukan umat Islam, yaitu:
1.
Membangkitkan Gerakan Nasional
Para ulama mencoba menggerakkan masyarakat dengan melalui
waktu-waktu yang sangat menguntungkan dalam pendidikan. Dicobanya mendidik
masyarakat agar semangatnya bangkit kembali dalam bidang ekonomi perdagangan.
Untuk keperluan ini H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (16 Oktober
1905). Setahun kemudian diubah menjadi Sarekat Islam (1906). Gerakan Nasional
yang terjun pada dunia pendidikan ialah salah satunya ialah Budi Utomo (BU)
yang muncul dari keprihatinan dr. Wahidin Sudirohusodo terhadap kondisi
anak-anak pribumi yang masih mengalami keterbelakangan karena hambatan
kekurangan dana belajar. Maka dr. Wahidin Sudirohusodo berkeliling Jawa untuk
menghimpun dana pada tahun 1906-1907.
Misi dan ide dr. Wahidin Sudirohusodo diterima dan dikembangkan oleh Sutomo,
seorang mahasiswa STOVIA. Akhirnya Sutomo dan rekan-rekannya mendirikan BU di
Jakarta pada 20 Mei 1908.
Selanjutnya, gerakan nasional yang merupakan hasil reaksi
masyarakat Islam Indonesia terhadap kebijakan Belanda ialah organisasi
Muhammadiyah yang didirikan K.H Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 di
Yogyakarta. Organisasi ini ingin memperbaiki agama dan umat Islam Indonesia.
Dorongan luar yang melahirkan organisasi ini adalah politik kolonial sendiri
terhadap pengembangan agama Islam yang menginginkan agar agama Islam tetap
tidak murni.[19]
Perbaikan pendidikan organisasi ini mencakup perbaikan dan pembentukan manusia
Muslim yang berbudi, alim, luas pengetahuannya dan faham masalah ilmu keduniaan
dan kemasyarakatan. Sistem pendidikan dibangunnya dengan cara menggabungkan
model sekolah Barat ditambah pelajaran agama.[20]
2.
Pembentukan Organisasi Politik
Usaha pendekatan Islam dengan kelompok priyayi mulai
dirintis oleh K.H Ahmad Dahlan pada saat beliau belum mendirikan Muhammadiyah.
Pada 1909 K.H Ahmad Dahlan menyampaikan kuliah keagamaan kepada anggota Budi
Utomo, dengan harapan para pangreh praja dan guru-guru yang yang tergabung
dalam Budi Utomo bisa mengembangkan kuliahnya ke seluruh sekolah atau rakyat di
bawahnya.
Di bawah situasi demikian K.H Ahmad Dahlan mengadakan
perubahan sistem pendidikan bangsa Indonesia. Untuk merealisasikan gagasan
tersebut diperlukan wadah, yaitu Muhammadiyah (18 November 1912) yang didirikan
di Yogyakarta. Keberhasilan Muhammadiyah yang luar biasa terletak dalam
kegiatan-kegiatan pendidikan dikalangan orang tua maupun anak muda.
Pendidikanya mengandung unsur barat dan juga mengenai pelajaran agama yang
berdasarkan bahasa Arab dan tafsir al-Quran. Organisasi-organisasi pemuda dan
wanita, klinik-klinik dan rumah wakaf, dan sekolah-sekolah baru, semuanya
menunjukkan sejauh mana Muhammadiyah secara berhasil telah mengambil alih metode-metode
Barat, khususnya metode misi kristen di Indonesia[21].
Sedangkan di Jawa Timur kalangan ulama memandang perlu
untuk meningkatkan organisasi Taswirul Afkar (1914). Dari hasil reorganisasi
dibentuk Nahdlatul Ulama (1926). Atas prakarsa Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah, pada 1937 dibentuk Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI).
Dengan ormas dan orpol, memberi bukti
gagalnya teori Dutch Islamic Policy hasil pemikiran Snouck dalam melumpuhkan
Islam Indonesia.[22]
BAB
III
PENUTUP
·
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa,
mayoritas pribumi yang beragama Islam membuat pemerintah Belanda secara serius
memperhatikan umat Islam. Pada awalnya kebijakan yang di keluarkan oleh
pemerinta Belanda hanya sebatas rasa takut kepada umat Islam, dikarenakan belum
tahunya mereka terhadap umat Islam. Kemudian muncul tokoh Snouck Horgronje yang
dianggap sebagai peletak dasar politik Islam.
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Belanda baik
dalam agama maupun dalam pendidikan sebenarnya mengandung misi tersendiri. Misi
yang mereka inginkan yaitu bagaimana kebijakan yang mereka keluarkan tersebut
dapat memperkokoh posisinya di Indonesia. Diantara kebijakan-kebijakan itu antara lain dalam
pendidikan Islam, ordonansi guru, dan ordonansi sekolah liar. Dari kebijakan
tersebut pendidikan Indonesia menjadi lumpuh dan tidak diakui oleh pemerintah
kolonial, dan para pendidik tidak berani dalam melaksanakan proses pembelajaran
yang selayaknya, dan sekolah-sekolah yang didirikan oleh orang Indonesia
menjadi sekolah liar yang statusnya tidak diakui oleh pemerintah kolonial dan
setiap saat dapat digusur oleh pemerintah kolonial karena tidak meminta izin
pada pemerintah kolonial.
Kemudian kebijakan-kebijakan yang telah disebutkan
di atas, dalam yang mereka keluarkan sangat merugikan umat Islam, sehingga
berbagai reaksi dan perlawanan dilancarkan oleh umat Islam. Baik dalam bentuk
suatu pemberontakan maupun reaksi dalam bentuk lain.
DAFTAR PUSTAKA
Benda,
Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit
Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya. 1985.
Suhartono. Sejarah
Pergerakan Nasional dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-194,cet.2. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2001.
Suminto,Aqib.
Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta:
PT Pustaka LP3ES. 1996.
Suryanegara,
Ahmad Mansyur. Menemukan Sejarah: Wacana
Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung:Mizan. 1996.
[1] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta:PT
Pustaka LP3ES, 1996), Hlm.1.
[2] Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Pada
Masa Pendudukan Jepang, terj (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), hlm. 36.
[3] Ibid.
[4] Ibid., hlm. 37.
[5] Ibid., hlm. 39.
[6] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta:PT Pustaka LP3ES, 1996), hlm.
64-70
[7] Ibid., hlm. 170-171
[8]
Ibid., hlm.67.
[9] Ibid., hlm. 69-70.
[11] Ibid., hlm. 93.
[12] Ibid., hlm. 94.
[13] Ibid., hlm. 97.
[14] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia (Bandung: Mizan, ), hlm.
137.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid., hlm. 249.
[18] Ibid.
[19] Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo Sampai Proklamasi
1908-1945, cet.2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 44.
[20] Ibid., hlm. 45.
[21] Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam
Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang (Jakarta:Pustaka Jaya,1980), Hlm. 71.
[22] Mansyur, Menemukan Sejarah,Hlm. 142.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar