Selasa, 15 Desember 2015

Film Fiksi Islam Di Indonesia : pengertian dan perkembangannya

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan dunia komunikasi dalam kehidupan sosial telah dapat dirasakan oleh setiap lapisan masyarakat saat ini. Hal tersebut didukung dengan adanya teknologi yang semakin memudahkan manusia untuk mengolah dan memperoleh informasi dalam berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Media elektronik merupakan media yang efektif dan efisien untuk menyampaikan informasi dan hiburan, karena melalui media tersebut dapat disampaikan informasi dan hiburan berupa audio (suara) dan visual (gambar). Sehingga pesan yang terkandung dapat lebih mudah untuk disampaikan dan diterima oleh pihak-pihak yang membutuhkan.
Perkembangan dunia hiburan merupakan dampak meningkatnya kebutuhan manusia akan informasi dan hiburan melalui media elektronik. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin banyaknya stasiun televisi dan acara yang beragam. Perkembangan dunia film pun tidak ketinggalan seiring meningkatnya teknologi audio visual tanah air. Dunia film Indonesia saat ini mulai meningkat setelah sekian lama mengalami penurunan baik kualitas maupun kuantitasnya, karena maraknya film asing yang masuk memiliki kualitas yang jauh lebih bagus daripada hasil karya film Indonesia. Maka dari itu makalah ini akan mencoba menguak perkembangan sejarah film Islam Indonesia khususnya yang fiksi.


B. RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian film fiksi Islam Indonesia ?
2.      Bagaimana perkembangan film Indonesia ?
3.      Bagaimana perkembangan film Islam fiksi Indonesia ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.       Penegertian film islam indonesia.
Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera.
Menurut UU No.23 Tahun 2009 tentang perfilman, pasal 1 menyebutkan bahwa film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukan.[1]
Definisi Film Menurut UU 8/1992, adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan atau ditayangkan dengan sistem Proyeksi mekanik, eletronik, dan lainnya.
Film Islam Fiksi Indonesia merupakan karya seni berupa gambar yang bergerak secara hidup sebagai media komunikasi atau hiburan yang menggambarkan suatu cerita rekaan, khayalan atau bersifat tidak berdasarkan kenyataan dengan kaidah keislaman, walaupun para pembuat film tidak hanya orang asli Indonesia tetapi juga orang-orang luar Indonesia yang tinggal di negaranya, yang bercerita atau konsep penggambarannya tentang kehidupan masyarakat islam Indonesia.
B.Perkembangan Film di Indonesia
Film ditemukan pada akhir abad ke-19. Film berkembang seiring dengan perkembangan teknologi yang mendukung. Pada awalnya hanya dikenal film hitam-putih tanpa suara. Pada akhir 1920-an mulai dikenal film bersuara dan film warna pada tahun 1930-an. Peralatan produksi juga berkembang dari waktu ke waktu sehingga sekarang dapat menjadikan film sebagai tontonan yang menarik bagi masyarakat luas.
Menurut sejarahnya film yang kita kenal sekarang ini merupakan perkembangan dari fotografi penyempurnaan fotografi terus berlanjut yang kemudian mendorong untuk pembuatan film/gambar hidup. Ada dua nama penting sebagai perintis penemu film, yaitu Thomas Alva Edison (Amerika Serikat) dan Lumiere Bersaudara (Prancis). Edison menciptakan kinetoskop, yang bentuknya menyerupai sebuah kotak berlubang untuk mengintip pertunjukan, dan Lumiere merancang sinematograf, yang dipatenkan pada tahun 1895. Keunggulan alat ini terletak pada adanya mekanisme gerakan tersendat (intermittent movemen), gerakan tersendat ini mirip dengan mekanisme mesin jahit, yang memungkinkan setiap frame dari film yang diputar akan berhenti sesaat untuk disinari lampu proyektor, agar hasil proyeksi tidak tampak berkedip-kedip.[2]
Film pertama kali dibuat di Indonesia pada sekitar tahun 1926. Film cerita pertama yang dibuat di Indonesia yang berjudul Loetoeng Kasaroeng. Film ini dibuat tahun 1926 oleh Heuveldorp dan Krugers yang kemudian disusul dengan film Euis Atjih pada tahun 1928 pembuatnya F. Carli dan Heuveldorp.. Namun, jauh sebelumnya masyarakat Indonesia sudah diperkenalkan dengan pertunjukan film berupa film-film dokumenter yang berdurasi pendek.  Dalam iklan pertunjukan film pertama Hindia Belanda ini, tertulis besar-besar dalam harian Bintang Betawi: PERTOENJEKAN BESAR JANG PERTAMA. Nederlandsche bioskop maatschappij. Sebuah perusahaan yang mengupayakan pertunjukan film itu juga memberikan pengumuman tentang materi pertunjukan, yaitu Sri Baginda Maharatu Belanda bersama Yang Mulia Hertog Hendrik ketika memasuki kota Den Haag. Pemutaran filem pendek pertama itu dilagsugkan di sebuah rumah yang berada disebelah toko mobil Maatschappij Fucs Tanah Abang.[3]
Pertunjukan film pertama itu kemudian disusul dengan pertunjukan-pertunjukan lainnya, selanjutnya berdiri bioskop-bioskop permanen terutama dikota-kota besar. Yang sebelumnya itu hanya menyewa gedung dalam setiap pemutaran filmnya. Gedung Manege di Kebonjae Tanah Abang adalah salah satu gedung yang paling sering disewa. Selang berjalanya waktu film menjadi semacam seni bazzar, yakni kesenian hiburan yang bisa dibeli di pasaran. Film-film yang diputar terutama berasal dari Amerika, Prancis, Jerman dan dari Cina.
C. Perkembangan Film Islam Fiksi di Indonesia
          Mengupas tentang perkembangan film fiksi di Indonesia tentu sangat sulit untuk mengkronologikan  secara runtut, karna          dalam perkembangan film di Indonesia sendiri kebanyakan berlatarbelakang non Islam, ini dipengaruhi dari para pembuat film pertama di Indonesia yang notabenenya orang luar negeri.
          Dunia perfilman Indonesia pada waktu itu,  akhirnya mempunyai sosok seorang Usmar Ismail yaitu seorang ahli perfilman. Ekspansi dari sandiwara menuju film telah dimulai oleh seorang Usmar Ismail dengan bekal pemahamanya dalam kedua bidang kreatif itu. Penglaman zaman pendudukan Jepang dan agresi Belanda II telah memantapkan dirinya untuk melangkah kedepan dengan memproduksi sebuah film berjudul “Darah dan Do’a” lewat perusahaan filmnya Perfini (Persatuan Film Nasional Indonesia). Hari pertama pengambilan gambar filmnya, pada tanggal 30 Maret 1950 dikemudian hari dinyatakan sebagai hari lahirnya film Indonesia sekaligus mencatat nama Usmar Ismail sebagai Bapak Perfilman Nasional.[4]
          Selain film “Darah dan Do’a”, karya film yang dianggap fiksi Islam Usmar Ismail yang lainya adalah berjudul “Dosa Tak Berampun”. Ini merupakan salah satu film pertama atau tempo dulu yang menjadi awal perkembangan film di Indonesia, khususnya yang bertemakan religi. Film ini bertemakan Islam, yaitu tentang Ayah yang meninggalkan Istri dan anak-anaknya. Berikut sinopsis singkatnya: “Seorang ayah meninggalkan keluarga, karena terpikat wanita muda. Anak tertua Gunarto bersama ibunya harus membanting tulang demi menghidupi keluarga. Setelah anak-anak dewasa tiba-tiba muncul sang ayah, yang tanpa disengaja ditemui dalam keadaan miskin terlunt-lunta. Film ini berdurasi 109 menit, bergenre Oldies dan Drama, di Sutradarai oleh Usmar Ismail, dan dibawah perusahaan film: Perfini.[5]
          Setelah memasuki masa Orde Baru, film-film Inonesia di masa Orde Baru mengalami demonisasi, karna Orde Baru melarang ideologi ekstrem dalam politik Indonesia. Sehingga serupa dengan apa yang terjadi dengan komunisme dan Islam radikal. Dalam perkembanganya memang film yang bertemakan Islam kebanyakan berlatarbelakang sejarah, walaupun ada sangatlah sedikit, contohnya seperti yang sudah dibahas tadi, yaitu karya dari Usmar Ismail. Tetapi perlu kita ketahui beberapa film bertemakan Islam ikut berperan dalam perkembangan film Islam di Indonesia :
1. Mereka kembali (Nawi Ismail,1974)
5. Para Perintis kemerdekaan (Asrul Sani, 1982)
2. Pahlawan Gua Selarong (Lilik Sudjio,  1972)
6.  Al-Kautsar (Sani-umam, 1972)
3. Tjoet Njak Dhien (Eros Djarot, 1988)
7. Titian Serambut Dibelah Tujuh (Sanu-umam, 1982).[6]
4. Si Pitung


          Kini, film Indonesia telah mulai berderak kembali. Kebangkitan film Indonesia khusunya di kategori fiksi Islam dimulai pada tahun 2008, beberapa film bahkan booming dengan jumlah penonton yang sangat banyak. Sebut saja, film Ayat-Ayat Cinta, yang membangkitkan kembali industri film Indonesia, berikut sinopsis singkatnya: “Berkisar pada kehidupan cinta seorang mahasiswa, Fahri yang ditaksir oleh empat orang perempuan saat ia di Mesir. Ia kemudian menikahi perempuan Turki-jerman bernama Aisha, meninggalkan tetangganya, seorang Kristen bernama Maria yang patah hati. Pengagum lainya di Mesir adalah noura yang balas dendam atas cintannya yang tidak berbalas dengan menuduh Fahri memperkosa dirinya. Satu-satunya saksi yang mengetahui kejadian sebenarnya adalah maria yang dalam keadaan koma setelah percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Untuk menyelamatkan Maria dari penyakitnya. Fahri meskipun setengah hati, memutuskan untuk menjadikanya istri kedua. Fahri dibebaskan setelah Maria member kesaksianya di siding dan alur cerita berbelok kepada kerumitan kehidupan perkawinan poligami Fahri dengan Aisha dan Maria”.[7] Beberapa film fiksi yang bertema Islam lain yang laris manis dan menggiring penonton ke bioskop seperti, Ketika Cinta Bertasbih, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Perempuan Berkalung Sorban, dan lainnya.
          Adanya atau terciptanya film-film tersebutlah yang mengantarkan perkembangan film fiksi Islam di Indonesia pada era kontemporer ini semakin meroket  dan berjaya, salah satu contoh: menguasai bioskop diseluruh Indonesia. Semakin berkembang zaman yang memunculkan ide-ide baru dalam dunia perfilman Indonesia baik bertemakan Islam maupun non-Islam, genre film yang juga kian variatif, meski tema-tema yang diusung terkadang latah, jika sedang ramai horor, banyak yang mengambil tema horor, begitu juga dengan tema-tema remaja/anak sekolah.


















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Film Islam Fiksi Indonesia merupakan karya seni berupa gambar yang bergerak secara hidup sebagai media komunikasi atau hiburan yang menggambarkan suatu cerita rekaan, khayalan atau bersifat tidak berdasarkan kenyataan dengan kaidah keislaman, walaupun para pembuat film tidak hanya orang asli Indonesia tetapi juga orang-orang luar Indonesia yang tinggal di negaranya, yang bercerita atau konsep penggambarannya tentang kehidupan masyarakat islam Indonesia.
    Film ditemukan pada akhir abad ke-19. Film berkembang seiring dengan perkembangan teknologi yang mendukung. Pada awalnya hanya dikenal film hitam-putih tanpa suara. Pada akhir 1920-an mulai dikenal film bersuara dan film warna pada tahun 1930-an. Peralatan produksi juga berkembang dari waktu ke waktu sehingga sekarang dapat menjadikan film sebagai tontonan yang menarik bagi masyarakat luas.
Awal mula perkembangan film Indonesi, khususnya bertemakan religi, yaitu dengan diproduksinya sebuah film berjudul “Darah dan Do’a” oleh Usmar Ismail lewat perusahaan filmnya Perfini (Persatuan Film Nasional Indonesia). pada tanggal 30 Maret 1950 dikemudian hari dinyatakan sebagai hari lahirnya film Indonesia sekaligus mencatat nama Usmar Ismail sebagai Bapak Perfilman Nasional.
Film Indonesia telah bangkit kembali khusunya bertemakan Islam, kebangkitan film Islam Indonesia dimulai pada tahun 2000-an, beberapa film bahkan booming dengan jumlah penonton yang sangat banyak. Sebut saja, Ayat-Ayat Cinta, yang membangkitkan kembali industri film Indonesia. Beberapa film lain yang laris manis dan menggiring penonton ke bioskop seperti: Ketika Cinta Bertasbih, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Perempuan Berkalung Sorban, dan lainnya.




DAFTAR PUSTAKA
PaEni, Mukhlis. SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA: Seni Pertunjukan dan Seni Media. Jakarta: Rajawali Pers,2009.
Trianton,Teguh. Film Sebagai Media Belajar. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.
Gaik, Khoo Cheng, dkk, Mau Dibawa ke Mana Sinema Kita: Beberapa Wacana Seputar Film Indonesia, Jakarta: Salemba Humanika, 2011.




[1]  Teguh Trianton, Film Sebagai Media Belajar  (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013),hlm.1.
[2] Mukhlis PaEni, SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA: Seni Pertunjukan dan Seni Media, (Jakarta: Rajawali Pers,2009), hlm.13.

[4] Mukhlis PaEni, SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA: Seni Pertunjukan dan Seni Media, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm.120
[6] Khoo Gaik C, dkk, Mau Dibawa ke Mana Sinema Kita: Beberapa Wacana Seputar Film Indonesia, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011 ), hlm. 60-62
[7] Khoo Gaik C, dkk, Mau Dibawa ke Mana Sinema Kita: Beberapa Wacana Seputar Film Indonesia, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011 ), hlm. 85

Tidak ada komentar:

Posting Komentar