BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkembangan agama Islam di Indonesia begitu pesat
ketika adanya suatu gerakan pembaruan atau organisasi yang dilancarkan dengan
tujuan untuk melahirkan generasi Islami sekaligus untuk menyiarkan ajaran agama
Islam ke segala penjuru Indonesia. Gerakan pembaruan di yang terjad idi
Indonesia dimulai pada awal abad ke-20 M, yang mana pada dekade tersebut banyak
bermunculan gerakan pembaruan atau organisasi. Gerakan pembaruan yang paling
menentukan saat itu adalah gerakan pendidikan, misalnya, Jamiat al-Khair, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, al-Irsyad, dan
lainnya.[1]
Gerakan pendidikan begitu penting pada saat itu dikarenakan para ulama atau
cendekiawan dari luar Indonesia yang datang ke Indonesia membuka wawasan bagi
masyarakat Indonesia yang masih terpuruk akibat penjajahan. Sehingga,
masyarakat Indonesia akan memilki wawasan untuk merdeka dari penjajah, maju,
dan berkeilmuan. Serta, dengan ilmu atau pendidikan tersebut memberikan angin
segar dan energi positif untuk mengubah kehidupan ke arah yang baik.
Kehadiran
gerakan pembaruan di Indonesia bertujuan pula untuk mengembalikan kemurnian
ajaran Islam dengan berpegang pada Alquran dan Hadis. Sebagaimana yang akan
penulis paparkan lebih jauh mengenai Persatuan Islam (PERSIS), terutama dalam
pembahasan mengenai peran tokoh Islam dalam mengembangkan pendidikan Islam
melalui PERSIS.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
sejarah perkembangan Persatuan Islam (PERSIS) ?
2.
Apasaja
kontribusi PERSIS dalam bidang pendidikan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Berdirinya
Persatuan Islam atau yang biasa disingkat dengan
PERSIS didirikan pada tanggal 12 September 1923 M di Bandung, lebih tepatnya di
Gang Pakgede, yaitu tempat para saudagar berkempul, para saudagar itu dikenal
dengan urang pasar.
Awal muasal ide pendirian organisasi PERSIS berawal
dari kenduri yang dilakuakn di salah satu rumah milik perkumpulan orang asal
Sumatera (Palembang) yang sudah lama tinggal di Bandung, yaitu rumah di
belakang Gang Pakgede. Dalam acara kenduri tersebut, berhasil menarik perhatian
orang, sehingga tidak saja dihadiri oleh para pedagang Palembang. Serta, acara
kenduri yang dilakukan tidak hanya menikmati hidangan saja, melainkan setelah
makan, banyak terjadi perbincangan dan diskusi yang membahas mengenai masalah
agama dan gerakan-gerakan agama pada saat itu, misalnya, permasalahan
organisasi Sarekat Islam yang terpecah-pecah karena masuknya paham komunis,
membahas majalah al-Munir yang dari Padang dan majalah al-Manar yang dari Arab,
dan permasalahan yang lainnya.
Pada tahun 1923, acara kenduri tersebut
bertransformasi menjadi kelompok studi dalam bidang keagamaan yang dinamakan
dengan Persatuan Islam,[2]
yang bersemboyankan kembali kepada Alquran dan Sunnah.[3]
Pengambilan nama PERSIS didasarkan atas firman Allah dalam Alquran Surat Ali Imran
ayat 103 dan hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dengan isi (matan), “kekuatan Allah itu beserta
jamaahnya.”[4]
Pendiri dari PERSIS adalah K. H. Zamzam dan Muhammad
Yunus. Zamzam dari awal adalah tokoh yang berpengaruh dalam diskusi yang
diadakan, ia selama tiga tahun belajar di Darul Ulum, Makkah dan
mengaplikasikan ilmunya dengan menjadi guru di Dar al-Mutallimin, Bandung.
Sedangkan, Muhammad Yunus adalah seorang yang lebih tertarik masalah urusan
keagamaan dan ekonomi dalam dunia perdagangan.[5]
Dalam AD/ART PERSIS
atau yang sering disebut dnegan Qanun
Asasi dan Qanun Dakhili disebutkan
bahwa organisasi PERSIS didirikan dengan berasaskan Islam yang dibentuk dengan
dua tujuan. Pertama, mengamalkan
segala ajaran Islam dalan setiap segi kehidupan anggotanya dalam masyarakat. Kedua, menepatkan kaum muslim pada
ajaran akidah dan syariah yang murni berdasarkan Alquran dan Sunnah. Dengan
asas dan tujuan tersebut, PERSIS merupakan organisasi kemasyarakatan yang
berdasarkan Alquran dan Sunnah yang agenda kegiatannya mencakup dua hal, yaitu
rencana jihad umum dan rencana jihad khusus.[6]
PERSIS adalah organisasi independen, dengan segala
pembiayaan dana untuk organisasi ditanggung oleh organisasi itu sendiri, hal
ini tidak mengherankan karena beberapa orang dari kader PERSIS adalah
wirausahawan. Salah satu pendonor dana dakwah dalam PERSIS adalah K. H. M.
Anang Tojib bin Samsudin.
Dakwah PERSIS yang pertama kali adalah yang sesuai dengan semboyan, yaitu kembali
kepada Alquran dan Sunnah. Sebagaimana dikutip dalam buku Api Sejarah, bahwa
PERSIS awal gerakan dakwahnya lebih mengutamakan penyadaran terhadap TBC, yaitu
Tachajoel, Bid’ah, dan Choerofat baru
menyusul mensosialisasikan jilbab.[7]
Dengan seiring perkembangan zaman, PERSIS pun mengalami perkembangan yang
signifikan terlebih dalam bidang pendidikan, walau pernah mengalami stagnasi.
Adapun, periodisasi dalam perkembangan PERSIS, yaitu.[8]
1.
Periode
Pertama (1923-1942)
Pada periode ini kepemimpinan di bawah Zamzam dan
Muhammad Yunus. Menurut penulis, periode ini adalah periode transformasi PERSIS
dari diskusi kecil menjadi organisasi independen, dengan dijadikannya PERSIS
sebagai organisasi biasanya memiliki pemikiran atau semacam ideologi yang khas.
Pengkaderan pada periode ini membuahkan tokoh besar
PERSIS, yaitu Ahmad Hasan (selanjutnya ditulis A. Hasan) dan M. Natsir. Dengan
adanya dua tokoh tersebut mengantar organisasi PERSIS ke organisasi Islam
modern di Indonesia.[9]
Hal ini dikarenakan atas pemikiran dari A. Hasan sebagai guru utama di PERSIS
yang lebih mengutamakan ajaran Islam dan mengedapankan pendidikan Islam
Indonesia. Serta, atas pemikiran M. Natsir selaku kader A. Hasan dan juru
bicara di PERSIS, dengan kontribusi pemikirannya terhadap pendidikan di PERSIS
yang sejalan dengan A. Hasan, serta pemikiran terhadap dunia politik di
Indonesia yang pemikirannya bertolak belakang dengan A. Hasan.
2.
Periode
Kedua (1942-1962)
Pada periode ini adanya kevakuman terhadap
organisasi PERSIS masa kependudukan Jepang. Serta, setelah kemerdekaan
Indonesia, PERSIS melakukan reorganisasi di bawah kepemimpinan K. H. Isa
Anshary. PERSIS pada periode ini lebih bergerak di bidang politik dengan
bergabungnya PERSIS bersama Masyumi yang mengedepankan ideologi Islam.[10]
Begitu pun, salah satu kader PERSIS menjabat sebagai menteri, sebagaimana yang
lebih dikenal dengan Kabinet Natsir.
3.
Periode
Ketiga (1962-1983)
Pada periode ini di bawah
kepemimpinan K. H. E. Abdurrahman yang lebih memfokuskan PERSIS dengan tabligh
dan pengembangan lembaga pendidikan pesantren PERSIS. Ia mengorientasikan
PERSIS pada organisasi agama, sehingga tidak terlihat perjuangannya pada dunia
politik.
4.
Periode
Keempat (1983-1997)
Regenerasi dari tokoh-tokoh PERSIS dalam pengkaderan
ini dicetuskan oleh K. H. A. Latief Muchtar selaku ketua PERSIS. Pada periode
ini PERSIS tampil sebagai organisasi yang low
profile yang bersifat persuasif-edukatif dalam menyebarkan paham Alquran
dan Sunnah, misalnya, pada masa kepresidenan Soeharto dengan diberlakukannya
asas tunggal, K. H. A. Latief Muchtar mengeluarkan strategi dengan slogan
“PERSIS mandiri, tidak mengisolasi diri.”[11]
B.
Konstribusi
Organisasi
ini tidak kalah dengan organisasi-organisasi lain yang selalu memperhatikan
pendidikan. Persis melaksanakan berbagai macam kegiatan pendidikan seperti
halnya tabligh dan publikasi. Kegiatan tersebut ditujukan untuk melatih
generasi muda Islam untuk selalu giat dalam mengembangkan ajaran Islam melalui
kegiatan pendidikan tersebut.
Dalam
bidang pendidikan Persis mendirikan sebuah madrasah yang mulanya dimaksudkan
untuk anak-anak dari anggota Persis. Tetapi kemudian madrasah ini diluaskan
untuk dapat menerima anak-anak lain. Kursus-kursus dalam masalah agama untuk
orang-orang dewasa mulanya juga dibatasi pada anggota-anggotanya. Hassan dan
Zam-Zam mengajar pada kursus-kursus ini yang terutama membahas soal-soal iman
serta ibadah dengan menolak segala kegiatan bid’ah. Masalah-masalah yang sangat
menarik masyarakat pada waktu itu seperti poligami dan nasionalisme juga
dibicarakan.[12]
Kursus-kursus
tersebut disediakan untuk anak-anak muda yang telah menempuh sekolah menengah
pemerintah dan memiliki minat untuk mendalami agama Islam dengan maksimal. Jadi
Kursus-kursus keagamaan tersebut tidak dikhususkan bagi para anggota Persatuan
Islam, tetapi juga untuk semua masyarakat yang ingin mendalami agama Islam.
Didalam Kursus-kursus tersebut terdapat guru-guru yang professional.
Diantaranya adalah Hassan. Didalam mengajar, Hassan memperoleh banyak manfaat
terutama dalam hal pendalaman pengetahuan agama Islam dan penggalian terhadap
sumber-sumber ajaran Islam.
Sebuah
kegiatan lain yang penting dalam rangka kegiatan pendidikan Persis ini adalah
lembaga pendidikan Islam sebuah proyek yang dilancarkan oleh Nasir,
dan terdiri dari beberapa sekolah yaitu: taman kanak-kanak, HIS (keduanya tahun
1930), sekolah Mulo (1931) dan sebuah sekolah guru (1932).[13]
HIS
merupakan lembaga untuk memperoleh pendidikan barat khususnya mempelajari
bahasa Belanda sebagai kunci untuk pendidikan lanjutan, pintu kebudayaan barat,
dan syarat untuk memperoleh pekerjaan. Bahasa Belanda memberikan prestise dan
memasukkan seseorang kedalam golongan intelektual dan elit.[14]
Kursus
Mulo dimaksud sebagai sekolah rendah dengan program yang diperluas dan bukan
sebagai sekolah menengah. Sebagai guru diangkat mereka yang memiliki ijazah HA
(Hoofdacte, kepala sekolah) atau diploma untuk pelajaran tertentu.[15]
Keinginan
Nasir untuk mendirikan berbagai sekolah ini dipicu oleh berbagai
macam tuntutan dari berbagai pihak. Selain itu timbulnya keinginan Nasir untuk
mendirikan berbagai lembaga pendidikan adalah karena ia melihat ada beberapa
sekolah di Bandung yang tidak memberikan pelajaran agama pada siswanya. Adapun
murid-murid yang masuk kedalam lembaga pendidikan yang didirikan oleh
organisasi Persis ini pada umumnya adalah anak-anak dari lingkungan sekitarnya,
tetapi ada beberapa diantara mereka ada yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa
Timur, bahkan dari Sumatra. Bagi para siswa yang telah lulus studinya mereka
diperbolehkan untuk kembali ke tempat asal mereka masing-masing untuk membuka
sekolah baru atau bergabung dengan sekolah yang ada di daerahnya.
Disamping
pendidikan Islam, Persis mendirikan sebuah pesantren (disebut pesantren Persis)
di Bandung pada bulan Maret 1936 untuk membentuk kader-kader yang mempunyai
keinginan untuk menyebarkan agama. Pesantren ini dipindahkan ke Bangil, Jawa
Timur ketika Hassan pindah kesana dengan membawa 25 dari 40 siswa dari Bandung.[16]
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi untuk diterima di sekolah ini meliputi: umur 18 tahun,
kesehatan yang baik, kemampuan untuk membaca dan menulis Arab dan latin,
pengetahuan membaca al-Qur’an, bersumpah bahwa kalau akan menjadi guru mereka
akan menjadi guru atau propagandis “Persatuan Islam”, dan akan berikhtiar
mendirikan cabang-cabang Persatuan Islam. Mereka juga harus menjaga disiplin
yang ketat dan wajib mengerjakan perintah agama, menjauhkan segala larangan,
menjauhi kegiatan merokok di dalam pesantren, bersih badan dan pakaian, menjaga
kesopanan dan adab-adab Islam, menjaga kesopanan adat yang tidak dilarang oleh
agama serta selalu menjaga syari’at Islam.
Organisasi
Persis ini sangat gemar dengan perdebatan-perdebatan hal ini berlainan dengan
Muhamadiyah, yang mana dalam penyebaran pemikiran-pemikirannya dilakukan secara
damai. Didalam Persis para anggotanya selalu siap untuk menantang orang-orang
yang tidak menyetujui pemikiran mereka. Hal ini tentunya menunjukkan berbagai
dalih yang kuat yang mereka ajukan kepada lawan debat.
Salah
satu bentuk tantangan dari Persis adalah berbagai ungkapan yang dicerminkan
dalam publikasinya melalui majalah Pembela Islam. Hal ini
dimaksudkan untuk menegakkan ajaran-ajaran Islam yang dikecam oleh berbagai
pihak. Selain itu terdapat tujuan lain yaitu untuk meyebarkan
pemikiran-pemikiran Persis. Hasil publikasi itu tentunya dibaca oleh masyarakat
luas bahkan anggota-anggota organisasi lain baik di jawa maupun luar jawa.
Hassan juga mendirikan sebuah percetakan untuk majalah yang berbahasa Indonesia
dengan tulisan jawa. Majalah-majalah yang diterbitkan membicarakan
masalah-masalah agama tanpa adanya pertentangan dari pihak-pihak non-Islam.
Nama-nama majalah itu antara lain al-Fatwa, al-Taqwa, al-Lisan dan majalah Sual
jawab.
Itulah
diantara beberapa usaha pendidikan yang dilakukan oleh organisasi Persatuan
Islam. Tentunya masih banyak lagi keterangan tentang usaha pendidikan Islam
oleh organisasi ini yang dimuat didalam buku-buku tentang sejarah pendidikan
Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Persatuan
Islam (Persis) merupakan sebuah organisasi Islam yang beridiri pada tahun 1923
di Bandung. Organisasi ini berasal dari sebuah acara yang sangat sederhana
yaitu kenduri. Didalam kenduri itu para anggotanya berbincang-bincang mengenai
masalah keagamaan dan kegiatan keagamaan baik di Indonesia maupun di luar
negeri. Tokoh-tokohnya diantaranya adalah H. Zam-Zam, H. Muhammad Yunus, Ahmad
Hassan dan Muhammad Nasir
Organisasi
ini tidak kalah dengan organisasi-organisasi lain yang selalu memperhatikan pendidikan.
Persis melaksanakan berbagai macam kegiatan pendidikan seperti halnya tabligh
dan publikasi. Kegiatan tersebut ditujukan untuk melatih generasi muda Islam
untuk selalu giat dalam mengembangkan ajaran Islam melalui kegiatan pendidikan
tersebut.
Adapun
usaha yang telah dilakukan Persis sebagai berikut :
a. pendirian
madrasah
b. pendirian
kursus-kursus keagamaan
c. pendirian
lembaga-lembaga pendidikan Islam
d. pendirian
pesantren Persis
e. pendirian
percetakan
B.
Saran
Dalam penyusunan makalah ini,
penulis menyadari ada beberapa kekesalahan dalam penulisan ataupun isinya,
untuk itu penulis sungguh berterimakasih atas saran dan masukan dari pembaca
sekalian yang sekiranya akan memberikan saran atau yang telah member saran yang
membangun dalam penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Rafid., Ijtihad Persatuan
Islam: Tela’ah atas Produk Ijtihad PERSIS tahun 1996-2009. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2013
Nasution, Harun., Sejarah Pendidikan
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. 2001.
Noer, Deliar., Gerakan Moderen Islam di
Indonesia (1900-1942). Jakarta: LP3ES. 1982.
Suryanegara,
Ahmad Mansur., Api Sejarah. Bandung.
PT Grafindo Media Pratama. 2013.
Suharto, Toto. Pendidikan Berbasis Masyarakat Organik:
Pengalaman Pesantren Persatuan Islam. Surakarta. Fataba Press. 2013.
Zuhairini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:
Bumi Aksara. 2006.
.
[1]Rafid Abbas, Ijtihad
Persatuan Islam: Tela’ah atas Produk Ijtihad PERSIS tahun 1996-2009 (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 30
[2]Toto Suharto, Pendidikan Berbasis Masyarakat Organik:
Pengalaman Pesantren Persatuan Islam,
(Surakarta: Fataba Press, 2013), hlm. 144.
[3] Rafid, Ijtihad Persatuan, hlm. 31.
[4] Toto, Ibid, hlm. 145.
[5] Rafid, Ibid, hlm 33.
[6] Toto, Pendidikan Berbasis, hlm. 146.
[7] Ahmad Mansur
Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung:
PT Grafindo Media Pratama, 2013), hlm. 491.
[8] Toto, Ibid, hlm.152
[9] ibid., hlm. 152.
[10] Toto.,Ibid., hlm. 155.
[11] Ibid., hlm. 162.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar