Minggu, 27 Maret 2016

Abbasiyah dan Umayyah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada masa ini sistem pemerintahan Islam tidak lagi berbentuk khilafah tetapi berbentuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun temurun, sehingga demokratis berubah menjadi monarchiheridetis [kerajaan turun temurun]. Dalam sejarah perkembangan Islam ada dua kerajaan besar yang sangat popular yaitu khilafah Bani Umayyah dan Bani Abasiyah.
Dalam pembahasan di makalah ini, kami akan membahas pemikiran politik Islam pada masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Singkat Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah
·         Dinasti Umayyah
Dinasti Umayah memerintah antara tahun (660-680 M) sistem pemerintahan yang demokratis berubah menjadi monarkhi, yang ditandai dengan adanya kebijakan kekuasaan Muawiyah mewajibkan kepada seluruh rakyat untuk menyatakan setia pada anaknya Yazid , dan menyebut kepemimpinamnya sebagai penguasa. Berdirinya Daulah Umayah berasal dari nama Umayah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin kabilah Quraisy pada zaman jahiliyah. 
Bani Umayah baru masuk agama Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain selain memasukinya, yaitu ketika Nabi Muhammad berserta beribu-ribu pengikutnya yang benar-benar percaya terhadap kerasulan dan kepemimpinan yang menyerbu masuk ke dalam kota Makkah.Memasuki tahun ke 40 H/660 M, banyak sekali pertikaian politik dikalangan ummat Islam, puncaknya adalah ketika terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib oleh Ibnu Muljam. Setelah khalifah terbunuh, kaum muslimin diwilayah Iraq mengangkat al-Hasan putra tertua Ali sebagai khalifah yang sah. Sementara itu Mu’awiyah sebagai gubernur propinsi Suriah (Damaskus) juga menobatkan dirinya sebagai Khalifah.
Namun karena Hasan ternyata lemah sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertambah kuat, maka Hasan bin Ali menyerahkan pemerintahannya kepada mu’awiyyah bin abi sufyan. Mu’awiyah sebagai pendiri dinasti Umayyah adalah putra Abu Sufyan, seorang pemuka Quraisy yang menjadi musuh Nabi Muhammad saw. Mu’awiyah dan keluarga keturunan Bani Umayyah memeluk Islam pada saat terjadi penaklukan kota Makkah. Nabi pernah mengangkatnya sebagai sekretaris pribadi dan Nabi berkenan menikahi saudaranya yang perempuan yang bernama Umi Habibah.
Karier politik Mu’awiyah mulai meningkat pada masa pemerintahan Umar Ibn Khattab. Setelah kematian Yazid Ibn Abu Sufyan pada peperangan Yarmuk, Mu’awiyah diangkat menjadi kepala di sebuah kota di Syria. Karena keberhasilan kepemimpinannya, tidak lama kemudian dia diangkat menjadi gubernur Syria oleh khalifah Umar. Mu’awiyah selama menjabat sebagai gubernur Syria, giat melancarkan perluasan wilayah kekuasaan Islam sampai perbatasan wilayah kekuasaan Bizantium.
Pada masa pemerintahan khalifah Ali Ibn Abu Thalib, Mu’awiyah terlibat konflik dengan khalifah Ali untuk mempertahankan kedudukannya sebagai gubernur Syria.Sejak saat itu Mu’awiyah mulai berambisi untuk menjadi khalifah dengan mendirikan dinasti Umayyah. Setelah menurunkan Hasan Ibn Ali, Mu’awiyah menjadi penguasa seluruh imperium Islam,dan menaklukan Afrika Utara merupakan peristiwa penting dan bersejarah selama masa kekuasaannya.

·         Dinasti Abbasiyah
Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-1258 M.
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah.
Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi. Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3 tempat yang menjadi pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib.

B.     Sistem Politik Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah
·         Dinasti Umayyah
-          Secara umum, pemerintahan Umayyah di Damaskus banyak meminjam pola-pola pemerintahan dari Byzantium, termasuk perlengkapan dan pola hidup raja, dan berbagai formalitas serta peraturan yang diberlakukan.
-          khalifah adalah jabatan sekuler dan berfungsi sebagai kepala pemerintahan eksekutif : kedudukan khalifah masih mengikuti tradisi kedudukan syaikh (kepala suku) Arab, dan karenanya siapa saja boleh bertemu langsung dengan khalifah untuk mengadukan haknya : Dinasti ini lebih banyak mengarahkan kebijaksanaan pada perluasan kekuasaan politik atau perluasan wilayah kekuasaan Negara : Dinasti ini bersifat eksklusif karena lebih mengutamakan orang-orang berdarah Arab duduk dalam pemerintahan, orang-orang non Arab tidak mendapat kesempatan yang sama luasnya dengan orang-orang Arab.
-          Qadhi (hakim) mempunyai kebebasan dalam memutuskan perkara. Disamping itu dinasti tidak meninggalkan unsur agama dalam pemerintahan. Formalitas agama tetap dipatuhi dan terkadang menampilkan citra dirinya sebagai pejuang Islam.
-          Dinasti ini kurang melaksanakan musyawarah. Karenanya kekuasaan khalifah mulai bersifat absolute walupun belum begitu menonjol. Dengan demikian tampilnya pemerintahan Dinasti Umayah yang mengambil bentuk monarki, merupakan babak kedua dari praktek pemerintahan umat Islam dalam sejarah.
-          Kekuatan militer pada masa ini pada mulanya dikhususkan bagi orang-orang Arab, tetapi ketika keadaan mereka mulai melemah maka mereka banyak diganti oleh orang-orang Berber untuk wilayah Barat dan para pekerja Persia untuk sebelah timur.
-          Struktur sosial pada masa ini, di kalangan umat Islam sendiri dibedakan antara orang-orang Arab dan bukan Arab (Mawali); sedangkan oang-orang non Islam, terutama Yahudi dan Nasrani ditetapkan sebagai Ahl al-Zimmah, mereka berkewajiban membayar jizyah (pajak perorangan)



·         Dinasti Abbasiyah
-          Abbasiyah memproklamirkan diri sebagai pelindung agama, dan khalifah merupakan bayang-bayang Tuhan di bumi.
-          Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan Mawali.
-          Kota Baghdad digunakan sebagai Ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
-           Ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting dan mulia.
-          Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya.
-          Para menteri trunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintahan.
-          Kedudukan khalifah sebagai amirul mu’minin, dan setiap katanya adalah hukum. Ia menjabat al-Imam pada salat Jum’at, panglima tertinggi pada pasukan peperangan, dan menjamin ketertiban berdasarkan Hukum Islam.
-          Dalam menjalankan pemerintahan khalifah Bani Abasiyah pada waktu itu dibantu oleh seorang wazir (perdana menteri) atau yang jabatannya disebut dengan Wizaraat.
C.    Teori-Teori Tentang Negara
Teori teori tentang Negara ini di kemukakan oleh beberapa intelektual muslim masa Umayyah maupun Abbasiyah.
1.      Ibn Khaldun (1332 -1406 M)
-          Menerima penggabungan khilafat dan kerajaan
-          Pemerintahan maupun kerajaan adalah khilafat Allah di antara manusia bagi pelaksanaan segala peraturan di antara manusia itu.
-          Membenarkan kemestian tunduk kepada kenyataan politik yang ada, karena pemeliharaan ketertiban lebih baik daripada kekacauan politik.
2.      Al-Ghazali ( 1056 - 1111 M)
-          membenarkan kemestian tunduk kepada kenyataan politik yang ada, karena pemeliharaan ketertiban lebih baik daripada kekacauan politik
-          negara yang ideal dan bermoral
-          lambang kesatuan dan identitas Muslim tetap terpelihara.
-          Khalifah tidak dapat dijatuhkan, walaupun khalifah yang dzalim
-          Khalifah dapat menyerahkan kekuasaan untuk memerintah kepada sultan yang berkuasa.

3.      Ibn Taimiyah (1263-1328 M)
-          Syariah merupakan kedaulatan tertinggi, petunjuk satu-satunya dan pegangan yang lengkap bagi umat Islam.
-          Negara diperlukan untuk pengembangan syariah itu, didasarkan pemikiran, bahwa mengatur urusan umat manusia adalah salah satu kewajiban agama yang terpenting.
-          Hubungan antara pengatur dan ummat adalah hubungan kerjasama.
-          Keduanya wajib menjalankan perintah agama (syariah), yakni menjalankan tugas amar ma’ruf nahi mungkar.
-          Kewajiban mentaati penguasa hanyalah jika penguasa itu menjalankan keadilan.
-          Penguasa hendaknya selalu berkonsultasi kepada ulama.

4.      Al Mawardi (972-1058 M)
-          karyanya al-Ahkam al-Sulthaniyah
-          mengemukakan tinjauan yang teoretis dan idealistis mengenai khilafat, sebagaimana pandangan umum di atas.
-          Syarat yang sekurang-kurangnya bagi pemerintahan Islam itu bukan watak kepala negara tapi pemerintah sesuai dengan syari’ah
-          Hukum Islam adalah kriteria bagi legitimasi negara Islam.
-          tidak boleh ada dua khalifah dalam suatu negara




BAB III
PENUTUP
·         Kesimpulan
Demikianlah kekuasaan Islam dalam kepemimpinan Bani Umayyah di Damaskus, meskipun berlangsung dalam pembentukan monarchi Arab dengan mengandalkan panglima-panglima Arab. Daulah Abbasiyah didirikan oleh Abdullah as-Safah. Kekuasaannya berlansung dari tahun 750-1258 M.
Di dalam Daulah Bani Abbasiyah terdapat ciri-ciri yang menonjol yang tidak terdapat di zaman bani Umayyah, antara lain : - Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan Dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab. - Dalam penyelenggaraan negara, pada masa bani Abbas ada jabatan Wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah. - Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya belum ada tentara Khusus yang profesional.
Demikianlah pembahasan mengenai politik Islam masa Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah.. semoga pembahasan ini dapat menambah wawasan keilmuan kita.



Daftar Pustaka
Abd, Karim Muhammad, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007
Fu’adi, Imam. Sejarah Peradaban Islam.Yogyakarta: teras, 2011.
http://www.scribd.com/doc/210221336/Pemikiran-Politik-Islam-Masa-Umayyah-Dan-Abbasiyah (diakses pada tanggal 28 september 2014)

Haq Dzul Karim, Irfan. 28 September 2014. Daulah Bani Abbasiyah. http://www.scribd.com/doc/30390315/daulah-Bani-Abbasiyah

Selasa, 15 Desember 2015

Hasan Al-Banna : Latarbelakang kehidupan, Peran dan Pemikirannya

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
      Mesir termasuk wilayah Afrika, dari sisi sejarah dan budaya selama berabad-abad merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Asia Barat. Mesir adalah salah satu negara belahan Arab yang dinamis. Negara yang secara geografis masuk di bagian Afrika belahan timur laut, sejak lama dianggap sebagai negara Islam modern. Mesir merupakan barometer modernisasi yang arahnya sekuler dan kebarat-baratan. Sejak beberapa dasawarsa, Islam merupakan bagian dari arena politik di Mesir yang digunakan oleh pemerintah maupun oposisinya.
      Dunia telah melahirkan banyak tokoh dengan pemikiran dan perjuangannya yang berbeda. Dalam gerakan Islam muncul nama-nama terkenal karena pemikiran dan aktivitasnya yang cukup menonjol dalam memperjuangankan Islam, salah satunya adalah Hasan Al-Banna. Dialah pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin yang sampai sekarang masih menggema diseluruh pelosok bumi. Pemikiran yang cukup luas dan aktivitasnya diberbagai tempat telah melahirkan penafsiran yang beragam tentang Manhaj (metode) dan model dari gerakan Ikhwanul Muslimin.
      Hasan Al-Banna dianggap sebagai pionir kebangkitan peradaban Islam, ia melakukan formulasi untuk membangkitkan gerakan kebangkitan Islam kontemporer yang disebut dengan “Jamaah Al-Ikhwan Al Muslimun”. Al-Banna mampu membentuk dirinya dan ikhwannya melalui halaqah[1] bagi warga Mesir.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana latar keluarga Hasan Al-Banna?
2.      Bagaimana peran dan pemikiran Hasan Al-Banna?






BAB II
LATAR KELUARGA
Nama lengkapnya adalah Hasan Ahmad Abdurrahman Al-Banna. Terkenal dengan nama Hasan Al-Banna. Lahir pada tahun 1906, di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah Mesir. Dia dibesarkan oleh keluarga yang terkenal dengan keilmuan agamanya. Al-Banna dilahirkan dalam keluarga yang sederhana, dengan mengamalkan Islam disegenap sudut kehidupan mereka. Ayahnya bernama Syaikh As-Sa’ati adalah seorang ulama fiqih dan ahli hadits. [2] Ibunya bernama Ummu Sa’d Ibrahim Saqr, mempunyai  tipologi yang cerdas, disiplin, cerdik dan kokoh pendirian.[3] 
Sejak usia 12 tahun Al-Banna telah bergabung dalam aktivitas dakwah yaitu Masyarakat untuk Tingkah Laku Moral. Puncaknya ia mendirikan aktivitas dakwahnya sendiri dengan nama Ikhwanul Muslim (IM) pada tahun 1928.  Dunia islam mengenal Al-Banna sebagai mujahid dakwah dan pembangkit umat Islam, hingga akhirnya Al-Banna syahid karena dibunuh oleh penembak misterius yang diduga suruhan dari pemerintah, pada 12 Februari 1949.[4]
A.  Pendidikan
Hasan Al-Banna memperoleh pendidikan dasar di sekolah Ar-Rasyad Ad-Diniyah. Kemudian pendidikan menengah pertama, ditempuh di sekolah muhammadiyah. Di dalam usianya yang ke 12, Hasan Al-Banna yang selalu meraih rangking pertama dalam semua jenjang sekolahnya ini, menyelesaikan hafalan separuh al-Qur’an, kemudian menyempurnakan hafalannya di sekolah diniyah al-Rasyad. Hasan Al-Banna sering mengunjungi perpustakaan As-Salafiyah dan tempat-tempat para ulama Al-Azhar.
 Setelah itu, melanjutkan ke sekolah menengah atas yakni Mu’allimin Awwaliyah  di Damanhur, Hasan al-Banna lulus tahun 1923 dan berhasil mendapat rangking 5 tingkat Negara Mesir dan melanjutkan pendidikan tingginya di Darul Ulum dan lulus pada tahun 1927 dengan mendapat ranking pertama. Di Dar al-Ulum al Banna mempelajari ilmu biologi, sistem pemerintahan, ekonomi, dan politik, selain itu juga mempelajari ilmu Bahasa, sastra, syair, geografi dan sejarah.      
Pada 1927, setelah menamatkan pendidikan tinggi di Dār al-‘Ulūm.al-Banna sangat menyukai syair. al-Banna menjadi guru Sekolah Dasar di Ismailiyah selama sembilan belas tahun.

B.  Pengalaman
·         Hasan al-Banna sering mengunjungi tempat-tempat hiburan, gedung-gedung pertemuan dan klub-klub.
·         Dalam usia 12 tahun, Al-Banna telah bergabung dengan Masyarakat untuk Tingkah Laku Moral.
·         Hasan al-Banna telah berhasil menyelesaikan hafalannya pada usia 14 tahun
·         Al- Banna mempelajari Tarekat Al-Hashafiyah
·         Al-Banna selalu berpindah dari tempat 1 ke tempat lainnya, kemudiaan Al-Banna menetap di Isma’iliyah
·         Tahun 1928, Hasan Al-Banna mendirikan organisasi dengan nama Jama’ah Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Islam)[5]
·         Tahun 1941, Al-Banna dipenjarakan selama sebulan karena pidato yang Ia sampaikan berisi tentang mengkritik sistem politik Inggris pada Perang Dunia II.
·         Tahun 1948, Al-Banna mengirim satu batalyon pasukan ke Palestina.
·         Di Isma’iliyah, Al-Banna mendirikan masjid, kantor organisasi Ikhwanul Muslimin dan Sekolah Hara untuk memperlajari Islam.
·         Al-Banna juga mendirikan sekolah yang diberi nama Ummahatul Mukminin






BAB III
 PERAN DAN PEMIKIRAN
Situasi dan Kondisi Mesir
Setelah perang dunia pertama, kekuatan pendukung Barat di Mesir memperoleh peluang emas disaat melemahnya kekuatan Islam, muncul kekuatan baru yaitu dinasti Usmaniya di didi Mesir membawa angin segar untuk bangkit kembali merebut kejayaannya.
Turki masih menganggap bahwa Mesir adalah wilayah kekuasaannya, sedangkan Inggris berkeinginan untuk menguasai lembah Nil, Laut Tengah, dan Laut Merah. Adapun Turki ingin mengembalikan kekuasaan sebelum diduduki Prancis. Sementara kekuatan rakyat yang sedang berjihad seperti masa-masa ekspansi Prancis. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh pejuang Mesir khususnya Umar Makrom yang mempunyai peranan penting dalam mobilisasi jalannya pemerintahan dan dialah yang mengangkat Muhammad Ali Pasya sebagai panglima perang, Kemudian menjadi pemimpin pemerintahan.
Pada masa pemerintahan Muhammad Ali Pasya, Mesir kembali mengalami kemajuan, ia mengirimkan pemuda Mesir belajar ke Eropa terutama Prancis, dan memberikan dorongan kemerdekaan kepada negara-negara Arab. Kondisi ini telah mampu mengangkat Mesir sejajar dengan negara-negara lain, sayangnya kepemimpinan Muhammad Ali Pasya tidak berlangsung lama, setelah ia wafat digantikan oleh putranya Said Pasya, ia kurang bijaksana dan kurang memperhatikan kebutuhan sosial utama Mesir. Kondisi ini kembali menjebak Mesir dalam kehancuran.
Sebelum adanya dakwah Hassan Al-Banna, aspek politik di Mesir kurang mendapat perhatian dari masyarakat Islam. Kelompok kleagamaan berada di luar medan politik. Pengertian politik menjadi pertentangan dengan perhatian agama. Sekilas Mesir mengalami kemajuan setelah berhubungan dengan dunia Barat, namun dibalik semua itu sebenarnya Mesir juga mengalami kemunduran. Umat Islam banyak yang meninggalkan kebiasaan mereka dengan kehidupan secara Islami dan rela diperbudak oleh Barat. Melemahnya komitmen umat Islam untuk menjalankan nilai-nilai Islam dalam keseharian mereka ini sempat dimanfaatkan oleh gerakan tasawuf Mesir, yang berhasil mempengaruhi pikiran rakyat di daerah perkampungan.
Masyarakat Mesir pada awal abad 20 menghadapi arus gelombang dan arus pemikiran yang dapat memberikan pengaruh positif dan negatif. Semangat kebangsaan tumbuh seiring dengan makin gencarnya pengaruh Barat ke Mesir, abad 19 merupakan awal semangat nasionalisme itu muncul dan menjadi isu yang hangat ditengah isu masyarakat. Pada zaman ini banyak ditemui perubahan, kudeta, dan revolusi naik di skala regional maupun internasional.[6]
Peran
Perpindahan Al Banna dari tempat kelahirannya Mahmudiyah ke Damanhur kemudian ke Kairo membuatnya banyak mengetahui permasalahan situasi dan kondisi umat Islam. Dimasa Al Banna tinggal di Mahmudiyah, daerah yang tenang dan menjaga tradisi Islam dan ajarannya, belum terlintas di benaknya bahwa di ibukota Kairo, banyak penyimpangan dan kerusakan yang sudah sangat parah.  Belum pernah tergambarkan olehnya bahwa para penulis terkemuka, ulama dan para pakar bekerja demi kepentingan musuh Islam. Tetapi ketika Al Banna berada di Kairo semua itu dilihatnya, kemudian beliau banyak berfikir untuk menghadapinya segala sesuatu sudah berubah seakan-akan manusia sudah jalan dengan kepala dan berfikir dengan dengkul. 
Ulama sibuk dengan urusan pribadi, masyarakat umum dalam keadaan bodoh, peristiwa demi peristiwa datang bertubi-tubi seakan-akan hujan yang deras, atau badai yang kencang, segala sesuatunya sudah berubah.
Surat kabar, majalah dan sarana informasi lainnya memuat dan menyebarkan pemikiran sesat, pornografi dan macam-macam kemungkaran di mimbar politik, masing-masing partai hanya mementingkan golongannya dan cenderung menjadi ajang permusuhan, perpecahan ummat.
Masyarakat sudah meninggalkan dan menjauhi nilai-nilai luhur, sudah asing dengan nilai-nilai Islam.  Begitupun di Perguruan Tinggi sudah banyak berubah, yang tadinya disiapkan untuk menjadi lampu penerang, pusat kebangkitan dan mimbar peradaban dan kebudayaan menjadi sumber malapetaka, pusat kerusakan dan alat penghancur sehingga banyak orang memahami bahwa Perguruan Tinggi dan Universitas adalah tempat revolusi terhadap akhlaq, menentang agama dan memusuhi tradisi yang baik.
Turki yang tadinya menjadi pusat Khilafah Islamiyah pada tahun 1924 M sudah berubah menjadi negara sekuler, negeri Mesir dan negeri-negeri Islam lain dalam keadaan terjajah dan perekonomian ummat Islam dikuasai oleh orang-orang asing kaum penjajah.
Semua itu disaksikan oleh Al-Banna, bahwa kondisi dan situasi semakin memburuk sehingga menyusahkannya dan ia menjadi gelisah.  Sampai beliau tidak dapat tidur selama 15 hari di bulan Ramadhan, akan tetapi ia tidak putus asa, tidak menyerah bahkan menambahnya semangat dan bertekad untuk berbuat sesuatu yang positip bahwa yang bisa mengembalikan Khilafah Islamiyah, mengusir penjajah dan mengangkat martabat hanyalah kesungguhan, cita-cita yang tinggi, kerja yang tak mengenal lelah dan harokah yang berkesinambungan.
Banna mulai melakukan aktifitasnya dengan menghubungi para pemimpin, tokoh masyarakat dan para ulama mengajak mereka untuk membendung arus kerusakan itu.  Beliau menghubungi Syeik Ad Dajawi salah seorang ulama Mesir terkemuka dan beliau menjelaskan permasalahan kepada Syeikh tersebut, tapi Syeikh hanya memperlihatkan keprihatinannya saja, tidak ada sesuatu yang diharapkan oleh Al Banna darinya, dengan alasan bahwa Mesir sedang dijajah Inggris yang memiliki kekuatan dan persenjataan yang dapat menghadapi gerakan apapun yang menentang dan merugikannya.  Al Banna tidak puas dengan jawaban Ad Dajawi itu dan membuatnya lemah semangat.  Kemudian Syeikh Ad Dajawi mengajaknya berziarah ke rumah Syeikh Muhammad Saad yang merupakan juga salah satu ulama terkemuka, disana banyak yang hadir selain Syeikh Ad Dajawi, Syeikh Muhammad Saad dan Al Banna.  Al Banna menjelaskan lagi permasalahan ummat namun Syeikh Ad Dajawi memintanya untuk berfikir, tapi Al Banna seorang pemuda yang memiliki semangat yang tinggi berpendapat waktu itu bukan saatnya untuk berfikir tapi untuk berbuat.
Syeikh Muhammad Saad pada waktu itu menjamu para tamunya kue-kue khas dibuat untuk bulan Ramadhan (halawiyat).  Para tamu asyik menikmati makan dan minuman yang disuguhkan, pemandangan ini membuat Al Banna semakin bersedih dan prihatin.  Beliau memahami bahwa mereka dalam keadaan lalai dari kondisi Islam, maka ia berusaha menyadarkan mereka seraya berkata : “Wahai tuan Syeikh !  Islam sedang diperangi dengan dahsyat, sementara para tokoh, pelindung dan para pemimpin ummat sedang menghabiskan waktunya dengan keni’matan seperti ini, apakah kalian mengira bahwa Allah tidak akan menghisab apa yang kalian sedang lakukan ?  Jika kalian tahu disana ada pemimpin Islam dan pelindungnya selain kalian, tunjukilah saya kepada mereka agar saya mendatangi mereka, mudah-mudahan saya dapati apa yang tidak ada pada kalian”.
Perkataan Al Banna menyentuh hati Syeikh Muhammad Saad, sehingga ia menangis membuat yang lainpun menangis.  Lalu Syeikh bertanya : “Apa yang mesti saya lakukan wahai Hasan ...?”  Al Banna mengusulkan agar Syeikh mengumpulkan nama-nama para ulama dan zuama serta para pemuka, lalu mereka diundang untuk suatu pertemuan dalam rangka memikirkan dan memusyawarahkan apa-apa saja yang harus mereka lakukan.  Sekalipun hanya menerbitkan majalah mingguan untuk mengimbangi majalah-majalah yang ada atau membentuk perkumpulan yang dapat menampung para pemuda.  Syeikh setuju atas pemikiran Al Banna itu dan ia mencatat sebagian nama ulama terkemuka seperti :
1.      Syeikh Yusuf Ad Dajawi
2.      Syeikh Muhammad Khudlori Husain
3.      Syeikh Abdul Aziz Jawis
4.      Syeikh Abdul Wahab Najjar
5.      Syeikh Muhammad Khudlori
6.      Syeikh Muhammad Ahmad Ibrahim
7.      Syeikh Abdul Aziz Khuli
8.      Syeikh Muhammad Rasyid Ridho
Dan mencatat sebagian nama-nama tokoh terkemuka, seperti :
1.      Ahmad Taimur Pasya
2.      Nasim Pasya
3.      Abu Bakar Yahya Pasya
4.      Abdul Aziz Muhammad Pasya
5.      Mutawalli Ghonim Bik
6.      Abdul Hamid Said Bik
Mereka semua diundang untuk suatu pertemuan dan terlaksanalah pertemuan demi pertemuan, sehingga dapat menerbitkan majalah “AL FATH”.  Dipimpin oleh As Sayid Muhibuddin Khattib dengan pimpinan redaksinya Syeikh Abdul Baki Surur, perkumpulan dan kegiatan ini terus berlangsung sampai Hasan Al Banna lulus kuliah dari Darul Ulum dan terus menggerakkan beberapa orang pemuda sehingga terbentuklah Jam’iyyah Syubanul Muslimin.
Hasan Al Banna berhasil mengumpulkan beberapa ulama dan tokoh masyarakat terkemuka, dan terbentuklah Jamaah Islamiyah yang menyeru untuk menghadapi arus gelombang kehidupan materialis, membatasi kegiatan maksiat dan kekufuran.  Akan tetapi Hasan Al Banna melihat aktifitas jamaah itu tidak cukup, dimana kegiatannya terbatas pada menyampaikan ceramah atau nasehat di masjid-masjid dan menulis artikel di majalah-majalah, akan tetapi siapa yang menyampaikan dakwah kepada orang-orang yang tidak ke masjid yang sebenarnya mereka lebih berhak dari pada orang-orang yang aktif ke masjid.  Siapa yang menyampaikan dakwah kepada orang-orang yang tidak membaca koran dan majalah.  Dengan demikian harus adanya kader yang siap berdakwah ke berbagai lapisan masyarakat.
Al Banna melihat bahwa yang dapat melaksanakan tugas berat itu adalah para mahasiswa Al Azhar dan Darul Ulum.  Al Banna berhasil mengumpulkan beberapa orang rekannya untuk berlatih berpidato, khotbah di masjid, berdakwah di warung-warung kopi dan tempat-tempat umum, kemudian pergi ke kampung-kampung.  Diantara mereka yg terlibat dalam aktivitas ini :
1.      Syeikh Muhammad Madkur
2.      Syeikh Hamid Askari
3.      Syeikh Ahmad Abdul Hamid
Setelah mereka berlatih dan siap terjun ke lapangan, Al Banna mengajak rekan-rekannya untuk berdakwah ke warung-warung kopi dengan memperhatikan  3 hal :
1.      Memilih tema yang sesuai
2.      Sistem penyajian yang menarik
3.      Memperhatikan waktu, jangan sampai membosankan
Pergilah mereka ke warung-warung kopi dan cukup berhasil.
Jama’ah Ikhwanul Muslimin (selanjutnya disebut Ikhwan) adalah gerakan besar yang didirikan oleh al-Banna. Gerakan ini dibentuk pada bulan Dzulqa’dah 1347 H/1938 di kota Ismailiyah. Gerakan ini tumbuh dengan pesat dan tersebar di berbagai kelompok masyarakat.
Maka mulailah Hasan al Banna dengan dakwahnya. Dakwah mengajak manusia kepada Allah, mengajak manusia untuk memberantas kejahiliyahan (kebodohan). Dakwah al Banna dimulai dengan menggalang beberapa muridnya. Kemudian al Banna berdakwah di kedai-kedai kopi. Hal ini Al Banna lakukan teratur dua minggu sekali. Al Banna dengan perkumpulan yang didirikannya “Al-Ikhwanul Muslimun,” bekerja keras siang malam menulis pidato, mengadakan pembinaan, memimpin rapat pertemuan, dan lain-lain.Metode gerakan yang diserukan oleh Ikhwan adalah bertumpu pada tarbiyah (pendidikan) secara bertahap. Tahapan tersebut adalah dengan membentuk pribadi muslim, keluarga muslim, masyarakat muslim, pemerintah muslim, Negara Islam, Khalifah Islam dan akhirnya menjadi Ustadziyatul ‘Alam (kepeloporan dunia).[7]
Dalam konferensi para mahasiswa Ikhwanul Muslimin yang diselenggarakan bulan Muharram tahun 1357H, Imam Hasan Al-Banna menyampaikan: “Dengan lantang saya kumandangkan bahwa keislaman seorang Muslim belum sempurna, hingga ia memahami masalah politik, mendalami persoalan-persoalan aktual yang menimpa umat Islam serta punya perhatian dan kepedulian terhadap masalah keumatan. Dalam kesempatan ini, dengan lantang saya ungkapkan bahwa pendikotomian agama dengan politik tidak diakui oleh Islam. Karena setiap pergerakan Islam sejak awal harus meletakkan misi dan programnya menyangkut masalah kepedulian terhadap problematika politik umat. Karena bila tidak, berarti pergerakan Islam tersebut mesti mengkaji pemahaman konsep Islam mereka kembali.
Benar Itulah fakta yang selalu mengaspirasikan bahwa tiada kebaikan dalam agama yang menafikan politik dan sebaliknya politik yang hampa nilai-nilai agama, karena politik semacam ini merupakan politik dalam konsep Barat. Sementara Islam dengan politiknya membawa misi pembahagiaan manusia di dunia maupun akhirat kelak, sebuah politik yang melindungi semua hak mereka, sehingga diharapkan pada suatu masa nanti umat Islam dan non-Islam menggunakan etika politik Islam yang akan melahirkan kebahagiaan bagi mereka. Sehingga mereka bisa hidup tenang, damai dan tenteram serta terlindungnya nyawa, harta dan kehormatan mereka.[8]
Pemikiran
            Hasan Al-Banna dan pembaharu Islam lainnya meyakini bahwa kelemahan kaum Muslim diakibatkan oleh dominasi Eropa dan penyimpanan dari ajaran Islam. Untuk membangkitkan Mesir dan kaum muslimin harus ada tekad untuk kembali memahami ajaran Islam secara kaffah (sempurna). Imam Al-Banna mengajukan manhaj dakwah yang menurutnya Islam itu sendiri. Dalam bukunya “Risalah Baina al-Ams wal Yaum”, ia menulis “ sejujurnya ikhwan sekalian, kita harus ingat bahwa kita berdakwah dengan dakwah Allah Swt. Yang merupakan dakwah yang paling mulia. Kita mengajak manusia untuk memegang pemikiran Islam yang merupakan pemikiran paling lurus. Dan kita mengajukan syari’at Alquran kepada manusia yang merupakan syari’at yang paling adil.
            Pemikiran Al-Banna dan dakwahnya adalah Islam, tidak ada unsur selain Islam, dan ia tidak pernah mencampuradukkan Islam dengan unsur lain sedikitpun, berupa agama, aliran, atau kepercayaan selain Islam. Al-Banna tidak membawa agama baru atau pemikiran baru, namun yang ia bawa adalah apa yang telah Nabi Muhammad saw. Sampaikan, oleh karena itu pemikiran Al-Banna menjadi istimewa dibandingkan pemikiran yang lainnya.
            Dalam masalah politik, Hasan Al-Banna berpendapat  “jika ada yang menyangka bahwa agama tidak berkaitan dengan politik atau politik bukan bagian dari sasaran agama, berarti orang itu telah menzalimi dirinya sendiri dan menzalimi keilmuannya terhadap Islam. Dan kita tidak mengatakan bahwa dia menzalimi Islam, karena Islam adalah Syari’at Allah yang tidak mengandung kebathilan dari dalamnya maupun belakangnya.
            Kegiatan politik adalah salah satu bagian dari misi ikhwan. Karena ikhwan adalah Harakah Islam yang integral. Ia secara aktif menunjukkan pandangannya dalam upaya perbaikan kondisi umat. Landasan utamanya adalah syari’ah Islam. Ia melihat urgensi penyatuan umat dan meninggalkan perpecahan demi kepentingan umum. Ia memberikan dukungan kepada pihak yang berbuat baik dan memberikan nasihat dengan etika Islam bagi pihak yang berbuat buruk. Usaha meraih kekuasaan bukanlah tujuan utama Ikhwan, namun yang dituntut adalah kerjasama untuk mendirikan daulah Islam yang menyerahkan urusannya kepada Allah Swt. Serta melakukan perbaikan individu, keluarga, dan masyarakat.[9]
Pemikiran Politik Islam Menurut Hasan Al- Banna.
Mesir sebagai background perjuangan Hasan al-Banna merupakan wilayah yang syarat dengan tantangan dakwah Islam waktu itu. Dengan sarana perjuangan yang diwadahi Ikhwanul Muslimin –yang notabene organisasi yang didirikannya-, sangat konsen perhatiannya dalam pergerakan politik. Dimana salah satu sisi Tarbiyyah Ikhwanul muslimin yang penting adalah bidang politik. Politik disini, sebagaimana dijelaskan Yusuf al-Qaradhawi, merupakan bidang yang berhubungan dengan urusan hukum, sistem negara, hubungan pemerintah dan rakyat, hubungan antara satu negara dengan yang lainnya dari negara-negara Islam ataupun non Islam, hubungan negara dengan kolonial penjajah, dan hubungan-hubungan yang lainnya dari ketentuan-ketentuan yang sekian banyaknya.[10]
            Dalam eksistensinya, Mesir menurut Hasan Al- Banna mengalami pembodohan dalam berorganisasi. Hal ini terletak pada klasifikasi organisasi politik dan organisasi agama. Ada dikotomi/ pemisahan antara agama dan politik dalam organisasi- organisasi di Mesir. Maka terjadi perbedaan konsep, dimana konsep politik bertolak belakang dengan konsep agama. Sehingga organisasi agama, tidak boleh mengurusi politik dan organisasi politik tidak dianjurkan untuk mengurusi agama. Hasan al-Banna menembus pemahaman adanya dikotomi agama dan politik tersebut untuk meniadakannya. Ia menganggap bahwa hal tersebut merupakan pemahaman yang didasari kebodohan dan hawa nafsu yang dilestarikan oleh kolonial peradaban. Maka menjadi keniscayaan dalam memerangi dan meniadakan pemikiran berbahaya tersebut dengan pemikiran yang benar, yakni kesempurnaan Islam untuk setiap bidang kehidupan, termasuk politik, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an, hadits, petunjuk Rasul SAW
Dalam pemikiran politiknya, setidaknya ada empat hal yang menjadi perhatian beliau dalam mengawal gerak perjuangannya. Keempat point pemikirannya menjadi sisi penting untuk memahami bagaimana ia menggerakan Ikhwanul Muslimin hingga menjadi organisasi Islam yang menjadi panutan dan rujukan pergerakan ormas Islam lain di beberapa penjuru dunia. Pertama, mengenai konsep Arabisme (‘Urūbah). Kedua, konsep patriotisme (Wathaniyyah). Ketiga, konsep nasionalisme (Qaumiyyah). Keempat, konsep internasionalisme (Ālamiyyah). Mari kita bahas satu persatu konsep tersebut:
·         Arabisme
Arabisme memiliki tempat tersendiri dan peran yang berarti dalam dakwah Hasan al-Banna. Bangsa Arab adalah bangsa yang pertama kali menerima kedatangan Islam. Dia juga merupakan bahwa yang terpilih. Arabisme menurut al-Banna adalah kesatuan bahasa. Menurut Al-Banna, Arab adalah umat Islam yang pertama, yang merupakan bangsa pilihan. Islam, menurutnya, tidak pernah bangkit tanpa bersatunya bangsa Arab. Batas-batas geografis dan pemetaan politis tidak pernah mengoyak makna kesatuan Arab dan Islam. Islam juga tumbuh pertama kali di tanah Arab, kemudian berkembang ke berbagai bangsa melalui orang-orang Arab. Kitabnya datang dengan bahasa Arab yang jelas, dan berbagai bangsa pun bersatu dengan namanya.
·         Patriotisme
Dalam memaknai Wathaniyah (patriotisme), ada tiga arti yang dikemukakan oleh Hasan Al-Banna, yaitu: Pertama, Patriotisme Kerinduan (Cinta Tanah Air). Al-Banna berkata: “Jika yang dimaksud dengan patriotisme oleh para penyerunya adalah cinta negeri ini, keterikatan padanya, kerinduan padanya, dan ikatan emosional dengannya, maka hal itu sudah tertanam secara alami dalam fitrah manusia di satu sisi, dan dianjurkan Islam di sisi lainnya.”Kedua, Patriotisme Kemerdekaan dan Kehormatan (Kemerdekaan Negeri). Al-Banna berkata: “Jika yang mereka maksudkan dengan patriotisme adalah keharusan berjuang untuk membebaskan tanah air dari cengkeraman perampok imperialis, menyempurnakan kemerdekaannya, dan menanamkan kehormatan diri dan kebebasan dalam jiwa putra-putra bangsa, maka kami sepakat dengan mereka tentang itu.” Ketiga, Patriotisme Kebangsaan (Kesatuan Bangsa). Al-Banna berkata: “Jika yang mereka maksudkan dengan patriotisme adalah mempererat ikatan antara anggota masyarakat suatu Negara dan membimbingnya ke arah memberdayakan ikatan itu untuk kepentingan bersama, maka kami pun sepakat dengan mereka.”
·         Nasionalisme
Dalam pandangan al-Banna, nasionasionalisme dipahami dalam 5 bentuk Pertama, nasionalisme kebanggaan, yaitu rasa bangga generasi penerus terhadap pendahulunya diiringi adanya tanggung jawab kewajiban untuk mengikuti jejak para pendahulu yang beriman kepada Allah sebagai Tuhan yang mesti disembah dan ditaati, Islam sebagai sistem hidup, Muhammad SAW.
Kedua, nasionalisme kebangsaan, yakni umat suatu bangsa mesti mengorbankan apa yang dimiliknya dari usahanya yang baik untuk menjadikan bangsa yang lebih baik.
Ketiga, nasionalisme jahiliyyah yang berarti nasinalisme yang dianut oleh kaum jahiliyyah. Dimana para penyeru nasionalisme ini berupaya menghidupkan kembali semangat-semangat jahiliyyah yang telah dibumihanguskan oleh Islam, seperti semangat fanatisme kesukuan, sikap sombong, dan merasa lebih dari orang lain. Prinsip-prinsip nasionalisme seperti ini berusaha dihidukan kembali oleh partai-partai sekuler yang menuduh Islam terbelakang atau kuno, sehingga harus dikikis dari kehidupan. Oleh karena itu, Hasan al-Banna menyatakan bahwa nasionalisme seperti ini amat tercela dan berakibat buruk dan akan meruntuhkan nilai-nilai kemuliaan serta menghilangkan watak-watak terpuji.
Keempat, nasionalisme permusuhan, yaitu nasionalisme yang berlandaskan semangat merampas hak-hak orang lain tanpa alasan yang benar. Semangat seperti merupakan semangat jahiliyyah yang terus berkembang dari dulu sampai sekarang. Bahkan era jahiliyyah dulu ada sebuah sya’ir yang mengatakan, “Siapa yang tidak menganiaya orang lain, maka dia yang akan dianiaya.
Kelima, nasionalisme Islam, yakni nasionalisme yang berlandaskan aqidah, bukan darah, keluarga, kepentingan, dan wilayah geografis tertentu.
·         Internasionalisme
Internasionalisme menurut Hasan al-Banna inheren dalam Islam, oleh karena Islam adalah agama yang diperuntukkan untuk seluruh umat manusia. Dunia, tidak bisa tidak, bergerak mengarah ke sana. Persatuan antar bangsa, perhimpunan antar suku dan ras, bersatunya sesama pihak yang lemah untuk memperoleh kekuatan, dan bergabungnya mereka yang terpisah untuk mendapatkan hangatnya persatuan, semua itu merupakan pengantar menuju terwujudnya kepemimpinan prinsip internasionalisme untuk menggantikan pemikiran rasialisme dan kesukuan yang diyakini umat manusia sebelum ini.




















BAB VI
PENUTUP
SIMPULAN
Hasan Ahmad Abdurrahman Al-Banna lahir kawasan Buhairah Mesir. Dia dibesarkan oleh keluarga yang sederhana  dan terkenal keilmuan agamanya dengan mengamalkan Islam disegenap sudut kehidupan mereka. Sehingga Al Banna mempunyai  tipologi yang cerdas, disiplin, cerdik, dan kokoh pendirian.
 Dalam perkembangannya, berperan aktif dalam dakwah dengan tujuan penyatuan umat.  Al-Banna mendirikan  Ikhwanul Muslimin  sebagai b kepeduliannya tentang keadaan Mesir, dan Ikhawanul Muslimin masih menghiasi dunia Islam sampai sekarang.

DAFTAR PUSTAKA
Ihsanudin, Mahfud. Pemikiran Politik Islam Al-Banna Dan Pengaruhnya Terhadap Mesir Tahun 1928-1949 M. Yogyakarta: Fak. Adab dan Ilmu Budaya, 2009.
Mohammad, Herry dkk. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Insani. 2006.
Mursi, Muhammad Sa’id. Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Jakarta: Pustaka Al Kausar. 2007.
Firmansyah, Joni. Pemikiran Politik Islam Kajian,  dilihat http://jonifirmansyahfull.blogspot.co.id/2013/10/pemikiran-politik-islam-kajian.html (diakses 27September 2015, Pukul 20.00 WIB)
Kirmasyah, Makalah Pemikiran Pendidikan Islam Hasan al-Banna, dilihat http://kirmansyah.blogspot.co.id/2014/07/makalah-pemikiran-pendidikan-islam.html
Diakses pada senin, 28 September 2015.
Yusuf al-Qaradhawi, al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa Madrasah Hasan al-Bannā,(Kairo: Maktabah Wahbiyyah, 1992), hal. 51-52 dalam http://robimulya.blogspot.com/2009/12/politik-islam-dalam-kacamata-hasan-al.html, (diakses pada 27 September 2015, pukul 20.05 wib)
http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-hasan-al-banna.html(diakses 27 september 2015, pukul 20.02 WIB)



[1]Halaqah disini adalah lingkaran orang-orang yang sedang mempelajari ilmu agama dengan berkelompok-kelompok serta membentuk lingkaran. 
[2] Herry Mohammad dkk. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. (Jakarta: Gema Insani, 2006.) hlm.201
[3]http://jonifirmansyahfull.blogspot.co.id/2013/10/pemikiran-politik-islam-kajian.html(diakses 27September 2015, Pukul 20.00 WIB)
[4] Herry Mohammad dkk. Ibid, hlm.207
[5] Herry Mohammad dkk. Ibid, hlm.202
[6]Mahfud Ihsanudin, Pemikiran Politik Islam Al-Banna Dan Pengaruhnya Terhadap Mesir Tahun 1928-1949 M, (Yogyakarta: Fak. Adab dan Ilmu Budaya, 2009), Hlm. 19-20.
[7]http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-hasan-al-banna.html(diakses 27 september 2015, pukul 20.02 WIB)
[8] http://kirmansyah.blogspot.co.id/2014/07/makalah-pemikiran-pendidikan-islam.html (Diakses 28 September 2015, pukul 16.00 Wib)

[9] Herry Mohammad dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani. 2006), hlm. 202-206.
[10] Yusuf al-Qaradhawi, al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa Madrasah Hasan al-Bannā,(Kairo: Maktabah Wahbiyyah, 1992), hal. 51-52 dalam http://robimulya.blogspot.com/2009/12/politik-islam-dalam-kacamata-hasan-al.html, (diakses pada 27 September 2015, pukul 20.05 wib)